Pendaftaran Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dimulai hari ini (Senin, 10/6/2019). Berhubung waktu pendaftaran cukup longgar, yakni selama dua minggu, seharusnya semua pendaftar tidak bersikap terburu-buru menjatuhkan pilihan pada PTN dan program studi yang diharapkan akan mampu ditembusnya.
Kebetulan saat lebaran kemaren saya terlibat diskusi panjang dengan seorang saudara yang datang ke rumah bersama anak-anaknya. Salah satu anaknya tersebut akan ikut SBMPTN sekarang ini.
Sang ibu terlihat sangat antusias menguliahkan anaknya di fakultas kedokteran (FK). Tapi dari nilai si anak dan melihat ketatnya persaingan, si ibu tidak yakin anaknya bisa lolos di universitas papan atas seperti UI, UGM, atau Unair.Â
Makanya si ibu minta saran saya, FK mana yang direkomendasikan kepada anaknya karena ia tahu adik bungsu saya dan beberapa keponakan saya merupakan dokter alumni Universitas Andalas (Unand) Padang.Â
Memang saya yang lahir dari keluarga yang hidup secara sederhana, merasa beruntung setelah adik bungsu saya menjadi "pembuka jalan" sehingga di keluarga besar saya sekarang, termasuk juga keluarga besar dari pihak istri saya, plus para menantunya, cukup banyak yang berprofesi sebagai dokter.
Dulu awal pertama adik saya mau kuliah di FK, beberapa famili lain sudah mengingatkan agar cari kuliah yang cepat lulus saja, karena FK itu lama kuliahnya dan yang paling dikhawatirkan adalah orangtua saya tidak mampu membiayainya.
Tapi saya yang waktu itu sudah bekerja di sebuah BUMN di Jakarta memberi semangat bahwa sepanjang si adik memang berminat dari hati kecilnya, Bismillah saja, tekuni kuliah di FK. Orangtua saya waktu itu memang sudah tidak punya penghasilan lagi, tapi saya dan kakak saya bertekad untuk membantu.
Alhamdulillah, adik saya sekarang praktik di beberapa rumah sakit di Pekanbaru di samping punya klinik sendiri. Namun kehidupannya baru boleh dibilang mapan setelah berumur 45 tahun, karena sebelumnya tak henti-hentinya ikut pendidikan, mulai dari pendidikan spesialis penyakit dalam dan terakhir ada lagi sub-spesialis untuk menjadi konsultan di bidang penyakit tertentu di UI.
Sementara para keponakan yang dokter karena masih berusia di akhir 20-an dan awal 30-an tahun, tentu masih dalam tahap merintis, dan mungkin kondisi keuangannya kalah dibanding para keponakan yang lulus fakultas ekonomi dan bekerja di bank atau perusahaan besar.
Tapi asalkan menjadi dokter karena "panggilan jiwa", tak masalah dengan penghasilan yang sedang-sedang saja dan harus ikut internship di daerah terpencil. Yang masalah adalah kalau yang pengen jadi dokter adalah si orangtua, sedangkan si anak tidak begitu berminat. Apalagi kalau orangtuanya punya bayangan kalau anaknya jadi dokter pasti jadi orang kaya.
Makanya saya tak berbicara banyak dengan si ibu yang jadi tamu lebaran, selain mencoba menggali apa minat si anak yang betul-betul menjadi passion-nya. Kalau memang minatnya masuk FK, baru pasang strategi kira-kira di PTN mana yang mungkin ia lulus SBMPTN.Â