Saya membaca keluhan dari seseorang di media sosial. Bunyi lengkapnya (tanpa diedit) seperti ini; "Pak Walikota bagaimana ini di Pantai Padang, emang parkir milik pribadi...kok kita parkir dibatasi sama penjual...nggak boleh parkir kalau nggak beli makanan mereka, mana harga makanannya selangit lagi. Kecewa saya sama masyarakat Padang yang di tepi pantai tidak mendukung pariwisata Padang dengan baik. Kasihan orang yang datang dari luar kota kecewa dengan keadaan ini."
Secara fisik, tampilan Pantai Padang makin menawan, setelah pemkot setempat melakukan berbagai pembenahan sehingga banyak spot bagus untuk berfoto seperti di Monumen Merpati Perdamaian dan papan penunjuk arah ke berbagai negara.
Paling tidak, kondisi pantai sekarang sudah lebih rapi. Tapi jangan bayangkan melihat pasir yang lebar dan memebentang sepanjang beberapa kilometer seperti di Kuta, Bali. Jangan pula membayangkan banyak area untuk berolahraga, taman bermain anak-anak dan ada masjid terapung seperti di pantai Losari Makassar.Â
Memang, objek wisata pantai di Sumbar relatif belum lama digarap, karena selama ini yang lebih disukai wisatawan adalah keindahan alam seperti Ngarai Sianok di Bukittinggi, Lembah Harau di Payakumbuh, Istana Pagaruyung di Batusangkar, serta beberapa danau besar yang ada di Sumbar.
Namun sekarang ternyata banyak juga pengunjung objek wisata pantai, yang selain di pantai Padang juga ada pilihan di Pariaman dan Painan. Selain itu wisata religi juga mulai bangkit dengan selesainya pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat yang megah.
Tapi, harus diakui, yang paling dicari wisatawan dari luar daerah Sumbar adalah makanan khas Minang, makanya objek wisata kuliner menjadi hal yang tak boleh diabaikan. Kepopuleran masakan Padang sudah menasional, makanya banyak yang tertarik menjajal di daerah asalnya.
Sayangnya, pedagang makanan di Sumbar masih banyak yang bermental kurang baik, karena menjadikan para pelancong sebagai sasaran empuk "pemerasan" dengan menerapkan harga yang mencekik.
Tampaknya para pedagang tersebut memakai prinsip aji mumpung dan merasa para pelancong bukan pelanggan tetap, jadi kapan lagi mendapat rezeki nomplok. Padahal si pelancong sekarang bebas menulis keluhan di media sosial, yang akhirnya malah merugikan semua pedagang.
Jauh sebelum keluhan yang saya kutip di atas, beberapa tahun lalu juga viral keluhan lain dari seorang pengunjung rumah makan berupa warung tenda di Bukittinggi yang merasa diperas karena untuk makan 3 orang bisa terkena sekitar Rp 400.000.
Pemerintah setempat bukannya diam saja. Sudah ada imbauan agar semua warung makan di objek wisata memasang daftar tarif sehingga pengunjung yang tertarik sudah tahu berapa kira-kira uang mereka bakal habis bila makan di sana. Sebagian pedagang mulai mematuhi imbauan tersebut, tapi masih banyk yang tidak, termasuk pedagang makanan di Pantai Padang yang dikeluhkan di atas.Â
Demikian pula soal tarif parkir di objek wisata, harus transparan. Jangan sampai pengunjung terkena ongkos parkir dua kali, yang resmi yang ada karcisnya, dan yang untuk jatah preman.
Tak bisa lain, jika pariwisata Sumbar ingin maju dan para pengunjung mau datang secara berulang-ulang, mental aji mumpung para pedagang, juru parkir, dan pihak lain yang ikut melayani, Â harus dikikis termasuk dengan upaya pengawasan dari aparat setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H