Namun dari pengalaman teman-teman saya, ada juga yang standar penerima dibatasi maksimal sampai yang masih duduk di SMA. Itupun yang bayi belum dianggap layak diberi salam tempel. Tapi kebayang kan sedihnya anak kuliahan ketika dibilangin: "kamu gak usah ya, kan udah gede". Â
Begitulah, berlebaran mau tak mau memang sangat kentara budaya salam tempelnya. Makanya uang receh dalam kondisi baru, harus dimiliki pihak pemberi menjelang lebaran.
Uang baru tersebut akan berpindah ke tangan anak-anak untuk sementara saja sebelum digunakan membeli makanan atau mainan. Anak-anak sudah hafal, siapa familinya yang kalau bertemu saat lebaran salam tempelnya tebal, tipis, atau kosong.
Tentu saja ada efek negatif dari budaya seperti itu. Penghargaan terhadap para "royalis" jadi begitu besar, sementara terhadap para "nihilis" alias salam tempel kosong, cenderung dihargai biasa-biasa saja.
Sedangkan efek positifnya, yang masih muda terpacu untuk bekerja keras agar saat lebaran mampu jadi "royalis". Sayangnya yang kurang mampu, bisa-bisa merasa tertekan secara psikologis pada setiap lebaran.Â
Tapi budaya salam tempel sebagai salah satu cara mempererat hubungan anak-anak dengan kerabatnya agar tradisi silaturahmi tetap berlanjut, karena si anak kalau sudah dewasa akan menirunya, sepanjang tidak berlebihan, tidak jadi masalah.
Soalnya, ada kekhawatiran saya, jika anak-anak tidak dilibatkan dalam acara berlebaran, terlepas dari ada atau tidaknya salam tempel, saat mereka dewasa nanti kurang membaur dengan famili sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H