Ketika bertemu saat bersilaturahmi di hari lebaran, seorang teman saya bercerita bahwa ia berniat membangun sebuah masjid. Saya takjub karena menilai hal itu sungguh perbuatan yang mulia, meskipun baru sebatas niat. Apalagi bila nanti sempat terwujud.
Sang teman memang telah saya ikuti sepak terjangnya sejak di bangku kuliah di dekade 1980-an dulu sampai ia berkarir dan baru saja pensiun dari sebuah kementerian.
Saya sebut sebagai sepak terjang, karena ia terkenal punya insting bisnis yang tajam. Waktu kuliah pun ia sudah terlatih melakukan jual beli motor bekas, dapat objekan dari foto kopi buku teks, dan sebagainya. Kemudian di sela-sela kesibukannya sebagai PNS, ia sudah punya beberapa unit ruko, sebuah hotel di kota kabupaten, kebun, peternakan ayam, dan entah apa lagi yang saya tidak tahu.
Makanya begitu ia menyebut sudah capek mencari lahan bisnis baru dan ingin fokus membangun masjid, maka saya sangat mendukung niatnya tersebut.Â
Saya pernah mendengar ceramah uztad, jika kita menyumbang untuk membangun masjid, selagi masjid tersebut masih dipakai untuk beribadah, pahalanya selalu mengalir kepada para penyumbang, meski ia sudah berada di alam barzah. Bayangkan apalagi kalau membangun masjid sendiri.
Dulu, paling tidak yang saya ketahui di Sumatera Barat, jarang ditemui masjid yang dibangun dan dipunyai oleh pribadi. Kemudian waktu saya sudah menjadi warga ibu kota, ternyata di pemukiman yang etnis Betawi masih banyak, terdapat masjid yang dimiliki oleh keluarga tertentu.
Meskipun masjid keluarga, tentu yang memanfaatkan adalah semua warga sekitar, karena sifatnya yang terbuka untuk siapapun. Hanya saja pengurus masjid sebahagian besar memang berasal dari kalangan keluarga pemilik.
Tapi diam-diam saya berpikir, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum membangun masjid. Yang paling utama adalah faktor lokasi, sebaiknya memang di tempat yang warga sekitarnya membutuhkan karena belum ada masjid di sana.Â
Bila masjid yang dibangun berdekatan dengan masjid lain, dikhawatirkan masjid akan sepi. Bisa juga yang terjadi jamaah masjid sebelah pindah ke masjid baru, namun dampaknya sama saja, tetap ada masjid lain yang sepi dari jamaah.
Saya lupa di mana saya mendengar atau membaca, bahwa konon salah satu tanda-tanda kiamat sudah dekat adalah ketika makin banyak masjid yang megah tapi jamaahnya sangat sedikit. Dan hal itu terlihat sekarang ini, di mana setiap kota seperti berlomba-lomba membangun masjid yang megah, baik yang dibangun pemda, swadaya masyarakat, maupun individu atau keluarga tertentu, namun jamaah yang rutin salat hanya 1 atau 2 saf saja.
Di samping itu, menurut saya sebaiknya masjid dikelola oleh mereka yang mampu memakmurkan masjid, meskipun berasal bukan dari pemilik masjid. Memakmurkan artinya sangat luas, tidak menjadikan masjid sebagai tempat ibadah semata, namun juga punya program untuk membantu kesejahteraan jamaah dan warga sekitar, membantu pembinaan mental para remaja, dan kegiatan positif lainnya.Â
Tentu saja faktor niat semata-mata karena Allah, harus menjadi dasar dalam pendirian masjid, bukan karena ingin mengharumkan nama seseorang. Sekarang ini memang banyak orang kaya yang mampu membangun masjid megah dan dinamai dengan nama pemiliknya. Nah, jika teman saya nanti berhasil mewujudkan niatnya, saya usul jangan pakai nama dia sebagai nama masjid.
Khusus mengenai teman saya ini, saya juga punya catatan tersendiri karena ia punya saudara sepupu yang lagi sakit kronis dan tidak punya penghasilan, padahal perlu biaya besar untuk mendapatkan tindakan medis. Hubungan teman saya dengan sepupunya ini sedang tidak baik karena teman saya merasa dimanfaatkan terus menerus oleh sepupunya.
Nah, ini hanya pendapat pribadi saya, alangkah kurang eloknya bila seseorang mampu membangun masjid tapi bersamaan dengan itu hubungannya dengan saudara sendiri kurang harmonis dan bisa dipersepsikan membiarkan saudaranya menderita.Â
Membangun masjid adalah sesuatu yang sangat baik. Tapi itu saja belum cukup karena baru dari sisi fisik saja. Meramaikan masjid dan membangun mental jamaahnya menjadi insan yang tekun beribadah serta bagus hubungan sesama manusianya, juga tak kalah penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H