Apalagi bila bertahun-tahun setelah itu, akumulasi tabungan yang nota bene berasal dari gaji setiap bulan yang telah dipotong zakat, mampu untuk membeli harta lain, katakanlah rumah, kendaraan, dan emas, maka timbul lagi pertanyaan berikutnya.Â
Ada yang berpendapat sebelum membeli rumah, keluarkan dulu zakatnya 2,5%. Ada pula yang berpendapat, jika rumah tersebut untuk dipakai sendiri tidak kena zakat, tapi bila disewakan, akan terkena zakat (inipun ada beda pendapat lagi, ada yang dikenakan dari harga rumahnya, ada pula yang dari peneriman sewanya).
Semakin ruwet lagi bila sebagian tabungan dibelikan saham atau obligasi di pasar modal, tentu saham atau obligasi dari perusahaan yang berkategori syariah. Apakah kalau kita memegang saham sudah lebih dari satu tahun, harus dibayarkan zakatnya? Dari mana dihitung zakatnya, dari harga beli semula, atau harga pasar saat zakat dihitung? Atau cukup dibayarkan ketika saham tersebut dijual, yang dibayarkan sebesar 2,5% dari hasil penjualan?
Jelaslah bahwa semakin beragamnya instrumen investasi, semakin dituntut pula pedoman pelaksanan zakatnya dari para ahli agama. Tapi agar para ahli agama tidak salah dalam mengambil kesimpulan, tentu harus memahami dulu seluk beluk produknya dari para pelaku pasar.
Bisa jadi jawaban terhadap pertanyaaan di atas sudah jelas, cuma karena keterbatasan pengetahuan saya saja sehingga tetap menjadi pertanyaan di benak saya. Tapi saya sungguh ingin mendapat tanggapan dari pembaca tulisan ini. Sebelumnya tak lupa saya sampaikan terima kasih.
Sebagai informasi tambahan, jika semua harta dikenakan zakat setiap tahun sebesar 2,5%, tentu terbayang betapa besar potensinya untuk menurunkan angka kemiskinan di negara kita.Â
Soalnya dari daftar kekayaan yang dilaporkan para pejabat negara, termasuk caleg pada pemilu serentak yang lalu, jumlah kekayaan sekitar belasan miliar rupiah per pejabat atau calon pejabat, adalah jumlah yang biasa. Adapun bila para caleg berasal dari kalangan konglomerat, hartanya bisa di atas Rp 100 miliar. Jelas potensi penghimpunan dananya tak kalah dari pembayaran pajak penghasilan.
Hanya saja pengawasan atas pembayaran pajak sudah semakin ketat, sehingga kepatuhan para pejabat membayar dan melaporkan pajaknya juga meningkat. Bahkan sering hal ini dilakukan di hadapan wartawan dan tersiar di media massa.
Mudah-mudahan nanti kepatuhan pejabat dan pengusaha dalam membayar zakat bisa sepatuh seperti saat membayar pajak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H