Kebetulan saya diundang untuk buka bersama (bukber) oleh sebuah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Saya menjadi nasabah di perusahaan tersebut, meskipun tidak begitu aktif dalam bertransaksi.Â
Makanya ketika saya diundang, awalnya saya kaget, karena biasanya nasabah-nasabah inti saja yang diberi kesempatan. Mungkin ini gara-gara beberapa hari sebelumnya saya berkonsultasi cukup intens dengan salah seorang yang kelihatannya pejabat level menengah di perusahaan itu.
Saya langsung menyanggupi untuk datang memenuhi undangan yang diadakan Senin (13/5/2019) lalu di sebuah restoran yang merupakan bagian dari hotel mewah di kawasan Jakarta Selatan. Jujur, saya tergiur dengan nama besar hotel tersebut dan menduga makanannya bakal bervariasi dengan menu berkelas internasional plus suasana yang nyaman.
Takut dengan kemacetan di jalan, saya berangkat dari rumah lebih cepat dan sampai di lokasi juga sebelum jam yang tertulis di undangan. Tapi berhubung sudah ada undangan lain yang masuk restoran, saya langsung mengisi absen di meja penerima tamu, dan memilih tempat duduk di dekat kaca yang bebas melihat pemandangan dari lantai 8 hotel tersebut.
Tak lama kemudian para tamu pun sudah memenuhi ruangan restoran yang pada hari itu memang di-booking khusus oleh perusahaan yang punya hajat. Rata-rata mereka berpakaian rapi ala orang kantoran. Sebagian tamu wanita memakai hijab, tapi lebih banyak yang tidak.Â
Memang kalau melihat dari tampilan fisik, banyak juga tamu non-muslim yang diundang, karena memang kriterianya tak ada kaitan dengan agama. Toh, tujuan bukber adalah untuk menjalin hubungan baik antara perusahaan dengan nasabah atau mitranya.
Acara dibuka oleh sambutan dari direktur utama perusahaan yang mengundang, lalu berlanjut dengan tausiyah dari seorang bapak berbaju koko. Sayang sekali para undangan berisik saling berbicara dengan rekannya atau saling bersalaman dan basa-basi dengan kenalan barunya, selain banyak pula yang sibuk dengan gadget masing-masing.
Sekitar 15 menit ceramah agama berlalu begitu saja. Tanpa terdengar kumandang azan, tiba-tiba ada yang memberi kode bahwa waktu berbuka puasa sudah masuk.Â
Dengan mengucap doa saya mereguk air mineral yang sudah tersedia di atas meja di hadapan kursi masing-masing. Kemudian saya berdiri mencari makanan kecil, tapi karena banyaknya pilihan dan ramainya tamu,saya hanya mencomot kue yang gampang dijangkau tangan.
Berikutnya saya ingin menunaikan salat magrib. Sayangnya, setelah saya tanya ke penerima tamu, musalanya tak ada di lantai tempat restoran tersebut, harus naik lagi dua lantai.
Tak banyak undangan yang bergerak ke  musala. Dengan dua orang lain yang satu tujuan, kami naik ke lantai 10, dan celingak-celinguk mencari musala yang ternyata harus melewati lorong baru ketemu musala kecil di pojokan. Kalau tak ada tulisan musala di depannya, pasti orang tak mengira kalau ruangan itu adalah musala, karena dari luar mirip ruang arsip atau gudang.
Setelah menunaikan kewajiban salat magrib, saya kembali ke restoran. Buah kurma yang tadi saya cari waktu membatalkan puasa, baru ketemu di bagian depan restoran. Lumayan, ternyata banyak jenis kurma yang tersedia, termasuk yang telah diolah dengan memasukkan kacang, keju atau makanan lain ke belahan kurma.
Nah sekarang baru giliran makan berat. Saya tidak melihat menu tradisional. Menu ala Jepang, Cina, Eropa, dan Timur Tengah lebih mendominasi. Alhamdulillah, meskipun saya memilih sedikit saja dari banyak jenis makanan yang ada, perut pun sudah terasa penuh.
Setelah saya berbasa basi sebentar dengan seorang eksekutif dari pihak pengundang dan setelah dapat informasi tidak ada kegiatan salat tarawih berjamaah di hotel tesrebut, saya menyampaikan terima kasih dan pamit.
Harapan saya, karena rumah saya dengan tempat bukber biasanya dapat dicapai sekitar 30 menit, saya masih sempat salat tarawih di masjid dekat rumah. Tapi apa mau dikata, ternyata jalanan lagi macet parah.
Tampaknya acara bukber menjadi sebuah rutinitas bagi banyak orang kantoran, sehingga kemacetan di malam hari setelah bukber terlihat lebih parah ketimbang di luar bulan puasa.
Jangan terlalu berharap acara bukber mendatangkan hikmah yang bersifat spiritual seperti meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Banyak bukber yang sekadar hura-hura berbungkus acara reuni. Ada pula bukber dilakukan untuk memperlancar lobi bisnis.
Parahnya, bisa jadi bukber menjadi sarana perbuatan tercela, seperti mengundang pihak lain yang berwenang mengawasi perusahaan pengundang. Tentu maksudnya agar si pengawas jangan terlalu galak, dan kalau bisa temuannya yang ringan-ringan saja. Maka pihak pengundang pun tak lupa memberikan cenderamata seusai acara bukber.
Sepertinya bukber orang kantoran penuh nuansa keagamaan, tapi rupanya hanya sekadar "di sini senang, di sana senang". Kontras sekali dengan bukber di masjid perkampungan dengan makanan seadanya yang disediakan para penyumbang dengan ikhlas. Versi kampung ini lebih terasa hikmahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H