Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bank Muamalat Berharap pada Ilham Habibie, Sang Penyelamat Baru

25 Juni 2019   13:15 Diperbarui: 25 Juni 2019   13:37 1180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara tentang perkembangan ekonomi syariah di negara kita, tentu tak dapat dipisahkan dengan pendirian Bank Muamalat (BM) sebagai penanda tonggak sejarah baru. BM adalah bank syariah pertama di Indonesia yang didirikan 1 November 1991 dan mulai beroperasi tahun 1992.

BM merupakan gagasan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang direspon secara positif oleh pemerintah. Banyak pengusaha muslim yang sangat mendukung dan menjadi nasabah sejak awal berdirinya BM.

Presiden Soeharto saat itu mengimbau setiap  jemaah haji membeli saham BM, sekurang-kurangnya Rp 10.000, dengan menyisihkan sebagian biaya transportasi mereka, sehingga terkumpullah dana untuk menambah modal BM (Majalah Tempo, 5 Mei 2019).

Cukup lama BM menjadi satu-satunya bank syariah di negara kita, sehingga untuk belajar atau untuk benchmarking, BM harus bekerjasama dengan bank syariah di luar negeri seperti Malaysia dan Inggris.

Saat krisis moneter melanda tanah air pada tahun 1998, banyak bank yang bangkrut, tapi BM justru tetap eksis karena menerapkan prinsip bagi hasil. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang memicu lahirnya bank syariah baru, yakni Bank Syariah Mandiri pada tahun 1999.

Setelah itu, tidak hanya bank syariah lain bermunculan, tapi juga asuransi syariah, koperasi syariah, obligasi syariah, indeks harga saham syariah, hotel syariah, pariwisata syariah, dan berbagai bisnis syariah lainnya.

Untuk bank saja, saat ini selain BM dan Syariah Mandiri, terdapat pula BRI Syariah, BNI Syariah, BCA Syariah, BJB Syariah, Maybank Syariah Indonesia, Panin Syariah, Bukopin Syariah, Syariah Mega, BTPN Syariah, dan Victoria Syariah. 

Ada sebuah Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang sepenuhnya dikonversi menjadi bank syariah, yakni BPD Aceh. Di samping itu, ada banyak sekali Unit Usaha Syariah (UUS) yang masih melekat dengan bank umum dan belum dipisahkan (spin-off) dari induknya seperti UUS Bank Danamon, UUS BTN, UUS Bank DKI, UUS Bank CIMB Niaga dan banyak lagi yang lainnya.

Jadi jelaslah bahwa perkembangan bank syariah di tanah air terbilang menggembirakan. Bahkan cukup banyak nasabah yang non-muslim yang memilih bertransaksi di bank syariah karena merasa cocok dengan pola operasinya.

Namun kondisi BM justru kurang menggembirakan. Meski menjadi pelopor, BM berkali-kali nyaris tersungkur, dan beruntung masih ada investor yang menyelamatkan dengan menyuntikkan modal.

Majalah Tempo (5 Mei 2019) cukup gamblang memaparkan bahwa BM tidak dijalankan dengan tata kelola yang benar sehingga kredit macetnya mencapai lebih dari 60 persen dan BM mencatat kerugian hingga Rp 105 miliar. Menurut Tempo, setelah penopang utamanya ambruk, maksudnya dukungan politis dari Soeharto, bank ini pelan-pelan kelihatan keropos.

Sampai saat ini BM sudah beberapa kali berganti pemilik saham mayoritas. Islamic Development Bank (IDB) dan Boubyan Bank Kuwait menjadi penyelamat pada awalnya dengan menjadi pemegang saham pengendali. 

Tapi ketika tahun 2015 BM mengalami masalah permodalan, IDB menolak menyuntikkan dana segar untuk menyelamatkan usaha bank. Ironisnya berkali-kali BM berencana untuk melakukan Initial Public Offering (IPO) melalui Bursa Efek Indonesia (BEI), namun entah kenapa gak jadi-jadi. Jangan-jangan BM belum cukup kuat bila harus membuka semua "isi perut"-nya agar bisa melakukan IPO.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), setidaknya perlu dana Rp 4-8 triliun untuk menyelamatkan BM. Sejumlah investor sempat dikabarkan bakal masuk, seperti PT Mina Padi Investama dan Bank Rakyat Indonesia. Namun mereka menemui jalan buntu dengan berbagai sebab.

Untunglah muncul sang penyelamat baru, yakni Ilham Habibie, putra dari mantan Presiden BJ Habibie (yang dulu menjadi Ketua Umum ICMI saat terbentuk tahun 1990).  Dilansir dari cnbcindonesia.com (22/4/2019), Ilham Habibie akan mengakuisisi 50,3% saham BM melalui Al Falah Investments Pte Ltd, dan berdasarkan prospektus Al Falah mengambil 77,1% saham baru yang diterbitkan BM.

Al Falah sendiri adalah perusahaan yang didirikan Ilham bekerja sama dengan SSG Capital, perusahaan investasi asal Hongkong. Karena Al Falah masuk BM dengan menyerap saham baru, maka berdampak turunnya persentase kepemilikan pemegang saham lainnya. 

Peran Ilham Habibie akan dominan dalam menyehatkan BM dan membawanya agar kembali on the right track. Hanya saja belum terbetik kabar, apa saja langkah perbaikan yang telah diambil BM. Yang jelas, BM harus mampu melaksanakan tata kelola yang benar (good corporate governance) dan berbisnis secara profesional tanpa berharap fasilitas dari pemerintah.

Kalau bank syariah lain mampu berkembang dengan baik, tentu BM harusnya juga bisa.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun