Sebuah tulisan dari Ramlan Surbakti pada halaman opini Kompas (6/5/2019) yang berjudul Anggaran Pemilu: Pengeluaran atau Investasi Publik, menarik untuk dicermati. Tapi artikel saya bukan dimaksudkan untuk mengulas tulisan tersebut, namun lebih menekankan pada pengertian secara akuntansi tentang apa yang disebut dengan pengeluaran atau expenditure.Â
Secara ringkas, ilmu akuntansi menggolongkan pengeluaran dalam dua jenis, yakni revenue expenditure (selanjutnya disingkat dengan RE) dan capital expenditure (CE).Â
RE berkaitan dengan pengeluaran rutin buat operasional perusahaan seperti pembelian barang dagang, membayar gaji pegawai, biaya sewa toko, biaya listrik, biaya iklan, dan sebagainya. Pengeluaran ini bukan dianggap sebagai aset perusahaan, tapi diakui sebagai beban perusahaan pada perhitungan laba-rugi tahunan.
Sedangkan CE adalah pengeluaran yang dicatat sebagai aset perusahaan, yang dalam kacamata umum disebut juga sebagai investasi. Contohnya apabila perusahaan membeli atau membangun gedung, membeli mesin, kendaraan, yang masa pakainya untuk jangka panjang.
Angggaran untuk pengadaan CE relatif besar, namun karena diyakini bermanfaat untuk jangka panjang, maka jatuhnya bisa menguntungkan perusahaan. Soalnya, bila perusahaan tak punya gedung milik sendiri, tentu terpaksa menyewa dengan harga yang bisa naik setiap tahunnya.
Nah, sekarang tenang pemilu. Seperti diketahui, untuk pemilu serentak 17 April lalu, pemerintah menghabiskan dana sekitar Rp 25,59 triliun. Dengan asumsi biaya tersebut sebagian besar digunakan untuk pengadaan kertas suara dan pengirimannya, pembangunan TPS, pembayaran honor seluruh petugas KPPS, dan biaya sosialisasi pemilu serentak, maka secara akuntansi, semuanya termasuk RE.
Namun dari kacamata umum tentu sah-sah saja melihatnya sebagai investasi, katakanlah investasi dalam berdemokrasi. Tentu saja hal ini terjadi bila pemilu berlangsung dengan prinsip "luber" (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan menghasilkan peningkatan pemahaman politik masyarakat banyak, yang siap menang dan siap kalah, tanpa membikin kerusuhan.
Dalam konteks di perusahaan-perusahaan besar pun, ada pengeluaran yang perlakuannya mirip dengan biaya pemilu. Maksudnya secara teknis akuntansi jelas dianggap sebagai RE, namun dalam kacamata manajemen boleh-boleh saja dinilai sebagai CE.
Betapa banyak perusahaan yang mengeluarkan biaya untuk mendidik stafnya, bahkan ada beberapa orang stafnya yang dikirim ke luar negeri mengambil program master atau doktor, semua ditanggung perusahaan. Hal ini secara akuntansi konvensional dianggap sebagi beban bagi perusahaan, namun secara akuntansi manajemen, malah bernilai investasi.
Soalnya, setelah staf-staf tersebut kembali dari pendidikannya, diyakini akan memberikan kontribusi positif buat perusahaan selama sisa masa kerjanya. Dan memang, lazimnya si staf menekan kontrak dulu sebelum ikut pendidikan yang mengikat ia untuk tidak resign selama periode tertentu.
Bayangkan, kalau perusahaan punya beberapa orang kunci yang mumpuni, jelas "harga"-nya luar biasa, dalam arti jika "dijual" ke perusahaan lain, pasti dengan harga jual yang tinggi. Ya. mirip-mirip dengan pemain bintang pada klub sepak bola profesional.