Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Memberhentikan Sopir Tua, Harus Tega

8 Mei 2019   09:45 Diperbarui: 8 Mei 2019   10:00 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sopir pribadi, tak ada kaitan dengan sosok di artikel ini (dok. jatimnow.com)

Memberhentikan yang dimaksud pada judul di atas adalah kalimat halus dari memecat, dalam hal ini yang dipecat adalah sopir pribadi yang berusia tua, meskipun pada umur berapa seseorang disebut tua, bisa diperdebatkan.

Maka saya juga tidak akan menetapkan batasan umur dalam angka, tapi lebih memperhatikan fungsi panca indra seseorang. Artinya, bila seorang sopir pribadi sudah mulai kurang awas penglihatannya, pendengarannya, atau sudah pelupa, itu dianggap sudah tua.

Berbeda dengan sopir dinas di instansi pemerintah atau perusahaan swasta, jelas sudah ada batasan umur maksimal yang membolehkan si sopir bekerja. Lewat umur yang telah diatur tersebut, mau tak mau si sopir harus dipensiunkan. 

Kenapa saya tergerak menulis hal ini, karena pengalaman saudara sepupu saya, katakan saja namanya Andi, yang sudah kebelet mau memperhentikan Pak Umar, sopir pribadinya, namun susah sekali, karena tidak tega.

Sebetulnya Si Andi tidak butuh sopir, karena ia sering pergi bekerja naik kendaraan umum. Mobil pribadinya lebih sering dipakai di akhir pekan saja. Sesekali ia pergi keluar kota bersama keluarga, dan selalu ada saja anggota keluarga atau kerabat yang bersedia bergantian menyetir mobil.

Namun suatu kali Pak Umar yang merupakan jamaah masjid tempat Andi sering salat magrib, isya dan subuh, datang bertamu. Saat itu sekitar tahun 20013, usia Pak Umar sudah 58 tahun.

Tanpa basa basi Pak Umar langsung mengemukakan niatnya meminjam uang buat kebutuhan sekolah tiga orang anaknya. Ia memang telat menikah, dan istrinya jauh lebih muda, sehingga pada usia sedemikian, anaknya masih ada yang duduk di bangku SD.

Kebetulan Andi lagi punya uang, diberikanlah uang yang cukup untuk membeli pakaian seragam, buku, dan kebutuhan sekolah lain. Waktu itu bertepatan dengan akan dimulainya tahun ajaran baru.

Pas mau pamit, Pak Umar bertanya, kenapa mobil Andi yang lagi diparkir di halaman rumah, sering dibiarkan menganggur. Kemudian Pak Umar bercerita bahwa sekarang ia lagi menganggur, namun sebelumnya lama menjadi sopir di sebuah perusahaaan minuman. 

Pak Umar berpesan, bila suatu waktu Andi butuh sopir pribadi, tolong pakai dia saja. Nah, sekitar dua atau tiga bulan kemudian, setelah Pak Umar beberapa kali minta bantuan uang ke Andi, barulah Andi berniat menjadikan Pak Umar sebagai sopir pribadi.

Tentu maksud Andi agar Pak Umar tidak sering minta bantuan lagi karena ada upah buat jerih payahnya sebagai sopir. Kebetulan putri bungsu Andi, sudah masuk SMP yang lebih aman diantar jemput oleh seorang sopir.

Satu tahun pertama berjalan baik-baik saja. Ya, ada beberapa keluhan Andi, seperti telatnya Pak Umar datang ke rumah atau telat menjemput ke sekolah. Namun Pak Umar malah menjadikan keterlambatan itu sebagai alasan untuk minta dibelikan hape. Andi pun membelikan hape meskipun yang kelas murahan.

Namun menginjak tahun ke 3, Andi dan istrinya mulai kesal dengan tingkah Pak Umar. Sepertinya tingkat konsentrasinya saat menyetir mulai bermasalah. Beberapa kali bersenggolan dengan kendaraan lain, dan kalau didamprat pengemudi lawan, Pak Umar yang saat itu usianya sudah masuk kepala enam, juga balas mendamprat.

Hal lain yang kurang nyaman, bila Andi atau istrinya lagi diantar oleh Pak Umar atau lagi bertemu di rumah sebelum mengantar si bungsu ke sekolah, Pak Umar sering curhat berpanjang-panjang yang intinya cuma satu, mohon bantuan keuangan di luar gaji yang diterimanya, atas nama utang.

Andi pernah memeperlihatkan catatan utang Pak Umar ke saya yang meski dicicil sedikit dari gaji bulanannya (Andi memberi gaji tetap setiap bulan ditambah uang makan harian setiap kali bertugas), jumlahnya makin lama makin membengkak.

Saya tidak tahu apakah saya bersalah atau bukan, tapi saya sengaja menyarankan agar Andi memberhentikan Pak Umar, dengan catatan utang-utangnya diikhlaskan saja dan tetap bersedia sesekali memberikan bantuan, mungkin atas nama zakat atau sedekah, kepada Pak Umar.

Alasan saya jelas, jangan campur adukkan niat membantu seseorang secara ikhlas dengan masalah profesionalisme seorang sopir pribadi. Jika membantu, ya membantu saja. Sedangkan sopir bila memang dibutuhkan cari yang kondisi fisik dan mentalnya masih prima. 

Akhirnya memasuki bulan puasa tahun ini, seperti yang diceritakannya ke saya, Andi berhasil "tega" memberhentikan Pak Umar. Awalnya Pak Umar ngotot berhiba-hiba memohon agar tetap dikaryakan, tapi dengan diplomatis Andi mengatakan keputusannya sudah bulat, dengan catatan ia tetap berniat akan membantu Pak Umar. Utang Pak Umar pun sudah diputihkan oleh Andi.

Saya sendiri ikut gembira dengan keputusan Andi, karena berpikir itulah solusi terbaik, demi kebaikan kedua belah pihak, Andi dan Pak Umar. Maksudnya Pak Umar secara fisik sudah tidak mendukung untuk bekerja menjadi sopir, sehingga terlepas dari tugas itu berarti juga Pak Umar terlepas dari risiko kecelakaan sewaktu dinas.

Tapi apakah saya layak disebut sebagai biang keladi yang menutup rezeki Pak Umar? Ya Allah, ampuni hambaMu ini.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun