Bahkan kemarahan orang tua bisa demikian memuncak bila anaknya bersikap "aneh". Contohnya, sudah bekerja di sebuah perusahaan mapan atau di kementerian tertentu, eh si anak tidak betah dan mengajukan resign untuk merintis berwirausaha. Bagi banyak orang tua, berbisnis itu sangat tidak menjamin masa depan, tidak ada uang pensiunnya.
Maka paling tidak ada dua hal yang ingin diungkapkan melalui tulisan ini, pertama, perlu usaha lebih keras lagi dari berbagai pihak untuk mengangkat gengsi pendidikan vokasi. Beberapa SMK dan politeknik sebenarnya sudah bagus kualitasnya, tapi upaya promosi yang lebih modern diperlukan agar lebih dikenal.
Mungkin ada yang berkomentar, buat apa mengurus soal gengsi, yang penting substansi. Betul, substansi menjadi hal terpenting, namun di era ketika semua orang ingin tampil di media sosial, maka mau tak mau faktor gengsi harus ikut diperhitungkan.
Kedua, para orang tua perlu lebih membuka wawasan. Bila semua orang tua berpikiran menjadi pegawai negeri atau menjadi karyawan perusahaan milik negara atau swasta terkenal, adalah satu-satunya pilihan yang harus dikejar anaknya, jelas akan menambah jumlah penganggur karena daya tampung yang amat terbatas.Â
Dengan berwiraswasta yang justru menciptakan lapangan kerja, bukankah profesi yang lebih mulia? Tentu dengan catatan dilakukan secara beretika dan mematuhi semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku, tidak main sogok untuk dapat proyek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H