Maka novel ke 12 Dee Lestari tersebut menjadikan aroma sebagai benang merahnya. Bagaimana Raras berburu Puspa Karsa yang penuh misteri di hutan Gunung Lawu, dengan memanfaatkan ketajaman penciuman Jati Wesi yang sejak kecil tumbuh di lingkungan tumpukan sampah di Bantar Gebang, Bekasi, sehingga dijuluki si Hidung Tikus.Â
Namun penciuman yang tajam seperti yang dimiliki Jati, juga dipunyai Tanaya Suma, putri cantik anak tunggal Raras, pewaris perusahaan Kemara. Bagaimana Jati yang masa kecilnya sangat menderita bertemu dengan Suma yang masa kecilnya berlimpah harta, dan awalnya membuat Suma muntah mencium bau Jati, tersaji apik dengan didahului berbagai teka-teki yang kemudian jawabannya terkuak perlahan-lahan satu demi satu. Â Â
Seiring berjalannya waktu, Jati dan Suma bahu membahu dalam mencari Puspa Karsa. Mereka berdua menjadi pasangan yang serasi. Sayangnya, atau malah hebatnya, pembaca harus memberi tafsir masing-masing atas ending yang dipilih Dee Lestari.Â
Saya kutipkan alinea terakhir novel ini: "Ucapan Jati mengalun bak rayuan seorang lelaki kasmaran di telinga Suma yang dimabuk cinta. Namun, segenap jiwa Jati meyakini, di dalam sana ucapannya juga mendarat sebagai sebuah ancaman. Genderang Perang"
Saya sendiri menafsirkan, atas nama cinta, Jati nantinya terpaksa membunuh Suma, karena titisan Puspa Karsa ada di tubuh Suma. Pembaca lain boleh saja menafsirkan hal sebaliknya, yakni justru karena berbahayanya Puspa Karsa, Jati tewas dalam "peperangan". Atau sah-sah saja pakai pakem sastra lama, Suma dan Jati akhirnya hidup berbahagia selamanya setelah Puspa Karsa berhasil diusir atau dijinakkan.
Bagaimanapun juga tentu Dee Lestari punya hak prerogatif, akan dibawa ke mana Aroma Karsa bila nanti ada lanjutan novel tersebut, atau memang sengaja dibiarkan menggantung seperti itu.
Terlepas dari keasyikan membaca Aroma Karsa, saya merasa dunia sastra Indonesia sekarang ini tumbuh semakin baik, dengan banyaknya penulis yang mampu bebas berimajinasi namun berdasarkan riset yang kuat, sehingga tidak terkesan ngawur.Â
Ambil contoh apa yang dilakukan Dee Lestari, seperti dilansir dari tirto.id (23/4/2018). Dee tak segan turun ke lapangan dengan menjumpai para pemulung di Bantar Gebang. Maka Dee pun tahu, para pemulung tersebut harus melalui tahap adaptasi selama seminggu mengalami muntah-muntah, sampai bisa dengan nyaman memulung di lingkungan seperti itu.
Dee Lestari juga belajar bahasa Jawa kuno dan sejarah Majapahit dari dosen UI, bertandang ke perusahaan kosmetik terkemuka Mustika Ratu, ikut kursus meracik parfum, mendaki Gunung Lawu, dan sebagainya. Â
Jadi, membaca Aroma Karsa, tidak saja menghanyutkan, tapi juga sekaligus menambah ilmu pengetahuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H