Berita siang ini (22/4/2019) yang ditayangkan Net TV antara lain tentang meninggalnya seorang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Bogor yang diduga karena kelelahan dan upaya bunuh diri seorang Ketua KPPS di Malang yang diduga stres karena ada selisih perhitungan suara, membuat saya terhenyak.
Apalagi setelah saya mencari informasi dari sejumlah media daring, ternyata sampai saat ini tercatat 56 orang petugas KPPS Pemilu Serentak 2019 yang meninggal dunia. Di satu sisi kita tentu harus menghargai jasa para pahlawan demokrasi tersebut yang bertarung nyawa demi terselenggaranya pemilu dengan lancar.
Namun di pihak lain, sudahlah anggaran yang dihabiskan untuk pemilu serentak sekitar Rp 25 triliun, kalau ditambah lagi dengan puluhan nyawa, sungguh demikian mahal. Satu nyawa saja sudah tidak terhitung nilainya.
Dalam pembicaraan informal pun topik suka duka petugas KPPS juga lagi marak. Tadi pagi di tempat saya biasa memangkas rambut, si tukang pangkas juga menceritakan betapa capeknya anak tertuanya yang jadi anggota KPPS di salah satu TPS di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Untung saja si anak tetap sehat meski baru menyelesaikan tugasnya sekitar jam 8 pagi di hari Kamis (18/4/2019), artinya di Rabu malam setelah pemilu, ia tidak tidur sama sekali.
Harap dicatat, di DKI Jakarta, masing-masing pemilih hanya kebagian empat kertas suara, masing-masing untuk pilpres, DPD, DPR-RI dan DPRD DKI Jakarta. Maka saya bisa membayangkan betapa lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menghitung suara di luar Jakarta yang punya 5 kertas suara, ditambah dengan DPRD Kabupaten/Kota.
Semoga saja jumlah petugas KPPS yang menjadi korban tidak bertambah lagi, dan keluarga korban yang ditinggalkan orang yang dicintainya dapat diberikan uang santunan yang layak.
Yang menjadi pertanyaan, masihkah pemilu serentak seperti yang baru saja kita alami, dipertahankan lagi pada tahun 2024? Atau setelah melihat berbagai dampak negatifnya, akan ditiadakan alias kembali ke pemilu gaya lama yang memisahkan pilpres dan pileg?
Nah, dari kacamata politisi, khususnya yang menjadi caleg, telah muncul suara agar pemilu serentak cukup sekali ini saja. Penghematan yang dituju tak sebanding dengan beberapa dampak negatifnya. Apalagi pamor pileg "tengggelam" oleh pamor pilpres, sehingga masa kampanye yang sampai 7 bulan pun tidak mengangkat popularitas pileg seperti yang diharapkan para caleg.Â
KPU pasti akan mengevaluasi pemilu serentak yang baru saja usai dan masih menyisakan banyak tahapan, termasuk menuntaskan penghitungan suara. Tapi diharapkan keputusan tentang nasib pemilu serentak di masa depan tidak diputuskan secara tergesa-gesa dan tidak mempertimbangkan pendapat dari satu atau dua pihak saja.Â
Kembali ke soal korban dari petugas KPPS, jika pemilu serentak masih diadakan, bisa diperbaiki cara pelaksanaannya. Pertama, setiap satu TPS pada kondisi tahun ini dipecah jadi dua TPS, sehingga beban menghitung suara bagi masing-masing TPS akan berkurang separohnya.Â
Atau cara kedua, jumlah TPS tetap, namun dengan waktu kerja 2 hari, di mana pada hari pertama, setelah melewati jam 8 malam, semua kertas suara dan dokumen lain di simpan dulu, dikunci dengan pengawalan aparat, untuk dilanjutkan lagi perhitungan suara keesokan harinya. Hal ini bertujuan untuk memberi waktu istirahat agar stamina petugas KPPS bisa pulih kembali.
Jelas akan ada penambahan biaya, khususnya biaya honor petugas dan pendirian TPS baru (alternatif pertama), atau hanya penambahan honor petugas di hari kedua (alternatif kedua). Namun tetap jatuhnya lebih hemat ketimbang memisahkan pileg dan pilpres.
Sebaiknya masa kampanye memang diperpendek, dan dalam masa yang pendek tersebut kreativitas para caleg diuji agar mereka tidak tenggelam oleh pilpres.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H