Pagi Senin (15/4/2019) saya kebetulan lewat di depan Kantor Kelurahan Tebet Timur, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Di halaman kantor terlihat beberapa petugas sedang menumpuk alat peraga kampanye (APK) ke dalam semacam gerbong berwarna kuning yang biasanya ditarik oleh truk pembuang sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA).Â
Saya jadi teringat hal yang telah saya tulis di sini, 6/3/2019 lalu, yakni tentang seorang sopir taksi yang membawa saya dari Kemang ke Tebet (keduanya di Jakarta Selatan) yang menyampaikan keinginannya buat meminta sehelai APK buat dijadikan orang-orangan yang dipasang di sawah di kampungnya.
Orang-orangan adalah semacam replika manusia untuk menakut-nakuti burung atau binatang lainnya agar tidak mematuk atau merusak buah atau tanaman di area tersebut. Rupanya bagi petani, harga untuk membuat orang-orangan yang bagus, cukup membebani juga, dan alangkah baiknya bila didapat secara gratis dari APK yang bahan kain atau plastiknya pasti lebih bermutu.Â
Waktu itu saya menyarankan agar si sopir menunggu sampai masa akhir kampanye dan mencoba meminta ke petugas yang membersihkan APK atau ke caleg yang membereskan sendiri APK-nya. Â Mudah-mudahan saja ia menuruti saran tersebut dan sekarang sudah mendapatkan bahan untuk orang-orangan tersebut.
Sebetulnya kewajiban untuk membersihkan APK ada pada caleg atau parpol masing-masing yang memasang. Kalau ini dilakukan, mungkin APK tidak akan dibuang ke TPA, tapi disimpan untuk dicarikan pihak lain yang mau mendaur ulang.Â
Sayangnya sebagian besar caleg atau parpol membiarkan saja APK-nya terpasang di masa tenang sampai disapu bersih oleh petugas Satpol PP. Inilah yang akhirnya ditumpuk di kelurahan seperti yang saya lihat di atas dan kemungkinan akan dikirim ke TPA.
Memang amat disayangkan bila nasib APK berakhir di TPA. Entah berapa ton beratnya. Mungkin juga akan menjadi rebutan antar pemulung. Tapi saya membaca berita yang bagus di Kompas (15/4/2019), tentang upaya Pemerintah Kota Jakarta Utara yang mewacanakan daur ulang APK menjadi produk kerajinan oleh pengurus PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) setempat.
Kalau saja ide dari PKK Jakarta Utara tersebut terlaksana dan ditiru oleh kota-kota lainnya, tentu sangat banyak manfaatnya. Ambil contoh, bila selembar APK Â berupa spanduk berukuran 1 x 5 meter, kalau dijadikan kantong belanja seukuran kantong plastik yang biasa dipakai di pasar swalayan, akan dapat berapa kantong? Padahal APK yang terkumpul di satu kota kecil saja bisa ratusan, bahkan lebih.
Kantong belanja dari APK pasti tidak senyaman kantong plastik standar yang lebih lentur, namun dunia telah sepakat betapa berbahayanya limbah kantong plastik bagi lingkungan. Makanya banyak daerah yang sudah membuat aturan tidak lagi membolehkan penggunaan kantong plastik.
Di Indonesia, saat ini paling tidak ada empat kota yang melarang kantong plastik digunakan di pasar swalayan atau toko modern lainnya, yakni Banjarmasin, Balikpapan, Bogor, dan Denpasar, yang dituangkan dalam peraturan daerah setempat.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga tidak mau APK dibuang begitu saja. Seperti diberitakan beritagar.id (15/4/2019), Ganjar membuat sayembara dengan hadiah total Rp 20 juta bagi yang bisa membuat kreasi unik dari bahan bekas itu.
"Bisa jadi payung, tas, jas hujan atau apapun yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Silakan kirim hasil kreatifnya ke medsos saya, nanti akan dipilih pemenangnya", ujar Ganjar.
Semakin banyak usaha daur ulang APK, semakin sedikit beban bagi TPA dan sekaligus memberikan penghasilan bagi para pendaur ulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H