Salah satu topik pada debet capres terakhir yang berlangsung Sabtu malam (13/4/2019) adalah berkaitan dengan pembentukan induk perusahaan (holding) dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Seperti diketahui, sampai saat ini sudah terbentuk beberapa holding BUMN yang dikelompokkan menurut jenis industrinya. Harus diakui pembentukan holding ini sangat gencar di era kepemimpinan Presiden Jokowi, meskipun sebetulnya dimulai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan pembentukan Semen Indonesia pada tahun 2012 dan sekaligus menjadikan Semen Gresik, Semen Padang dan Semen Tonasa sebagai anak perusahaan Semen Indonesia.Â
Masih pada periode SBY, terbentuk pula Pupuk Indonesia yang menjadi holding dari sejumlah BUMN yang memproduksi pupuk, seperti Pupuk Sriwijaya, Pupuk Kaltim, Pupuk Kujang, dan beberapa perusahaan lain.
Lalu pada era Jokowi, terbentuklah holding BUMN pertambangan pada tahun 2017, dengan menjadikan Inalum sebagai induk dari Aneka Tambang, Timah, dan Bukit Asam. Kemudian berlanjut pada tahun 2018 dengan menjadikan Pertamina sebagai induk bagi Perusahaan Gas Negara.
Namun pembentukan hoding BUMN tidak selalu mulus.  BUMN perbankan sampai sekarang belum terwujud. Demikian pula BUMN sektor konstruksi dan infrastruktur yang disebut juga dengan BUMN "Karya" karena nama perusahaannya banyak yang memakai Karya, seperti Hutama Karya, Adhi Karya, Wijaya Karya, dan sebagainya.
Kompas (13/4/2019) memberitakan perbedaan pendapat antar menteri, dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono dan Menteri BUMN, Rini Soemarno.
Kementerian yang dipimpin Basuki Hadimuljono secara teknis banyak berurusan dengan BUMN Karya, namun demikian sebagai BUMN, bos dari masing-masing perusahaan tersebut adalah Menteri BUMN.Â
Kompas tidak menulis bahwa Basuki menolak konsep holding, namun secara tersirat kesan tersebut muncul bila membaca pernyataan sang menteri yang menilai rencana pembentukan perusahan induk bagi BUMN di bidang infrastruktur perlu dipertimbangkan lagi.Â
Menurut Basuki penyatuan usaha berpotensi mengurangi iklim kompetisi dan fleksibilitasnya serta mengubah status perseroan bagi anak usaha. Jika disatukan, badan usaha yang bisa ikut lelang proyek infrastruktur pemerintah semakin sedikit. Hal itu dianggap mengurangi iklim kompetisi.
Di lain pihak Rini Soemarno berpendapat bahwa dengan membentuk perusahaan induk, neraca perusahaan akan menjadi lebih besar sehingga diharapkan dapat bersaing dengan kompetitor dari luar negeri. Kalau sendiri-sendiri, perusahaan BUMN tidak bisa ikut tender di luar negeri dan hanya menjadi subkontraktor karena kalah dari Korea, Taiwan, dan Jepang.
Jelas bahwa titik pandang kedua menteri di atas berbeda cukup signifikan. Menteri BUMN lebih melihat aspek keuangan bagaimana suatu perusahaan dalam laporan keuangannya tercatat punya aset yang besar, sementara Menteri PUPR lebih melihat ke sisi teknis.Â
Dalam tata kelola pengadaan proyek pemerintah sudah diatur tata cara lelang yang kalau diikuti oleh sedikit perusahaan yang meminati proyek tersebut, akan mempersulit proses pengambilan keputusan, terlebih bila peserta tender tidak memenuhi quorum atau jumlah minimal peserta. Inilah yang tidak diharapkan Basuki bila BUMN Karya disatukan.
Kita tunggu saja akan seperti apa bergulirnya proses pembentukan BUMN infrastruktur tersebut. Apakah akan dibiarkan menggantung menunggu terbentuknya kabinet baru?Â
Secara hirarki birokrasi, bila antar menteri berbeda pendapat, maka giliran menteri koordinator yang harus mencari kesepakatan, meskipun akhirnya sebagai penentu adalah Presiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H