Remaja sekarang mungkin banyak yang tidak kenal dengan seorang penyanyi keroncong legendaris, Mus Mulyadi. Adiknya, Mus Mudjiono yang memilih menjadi musisi jazz, lebih dikenal oleh anak muda.
Memang popularitas lagu berirama keroncong semakin menurun, namun bagaimanapun juga perlu dilestarikan karena lebih terasa ke-Indonesia-annya, meskipun kalau dilacak dari sejarahnya, musik keroncong berasal dari Portugis yang masuk ke nusantara pada abad ke-16.
Bengawan Solo adalah salah satu lagu keroncong yang mendunia ciptaan almarhum Gesang. Nah, setelah Gesang, Mus Mulyadi menjadi penerusnya. Lagu-lagu yang mengiringi para pemuda pada dekade 1940-an yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI, juga didominasi lagu keroncong.
Sayang sekali generasi sekarang seperti melupakan keroncong. Apalagi setelah tersiar kabar duka, Mus Mulyadi baru saja dipanggil Sang Pencipta, meninggal dunia karena mengidap penyakit diabetes di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kamis (11/4/2019) jam 09.08 pagi, dalam usia 73 tahun (lahir di Surabaya, 14 Agustus 1945).
Menarik mengikuti perjalanan hidup seorang Mus Mulyadi seperti yang ditulis kapanlagi.com (11/4/2019). Lahir dari keluarga musisi, ayahnya seorang pemain gamelan, pada saat remaja sudah membentuk sebuah band yang diberi nama Irama Puspita.Â
Band yang dibentuk di Surabaya tersebut pada tahun 1963 sudah tampil di Jakarta memeriahkan pesat olahraga GANEFO, yang diikuti oleh negara-negara berkembang dari seluruh dunia.
Sayangnya Irama Puspita berumur pendek, tahun 1964 Mus Mulyadi bergabung dengan band Arista Birawa sebagai pemain bas sekaligus vokalis. Tak tanggung-tanggung, band ini berangkat dari Surabaya untuk mengadu nasib di Singapura setelah ayahanda Mus Mulyadi meninggal.
Ternyata tidak gampang berjuang di negeri orang, Mus pernah terlunta-lunta sebagai gelandangan. Mus akhirnya mulai mencoba menggubah lagu yang berhasil masuk dapur rekaman di negeri jiran itu yang kemudian mengubah nasibnya. Â
Apalagi setelah kembali ke Jakarta, Mus Mulyadi yang awalnya merintis karir sebagai penyanyi solo, kemudian bersama dengan A. Riyanto, Is Haryanto, Harry Toos dan Tommy WS mendirikan Favourite's Group yang mampu menyaingi Koes Plus, Panbers, The Mercy's dan D'Lloyd yang waktu itu merajai musik pop tanah air.
Beberapa lagu grup tersebut yang menjadi hits adalah Seuntai Bunga Tanda Cinta, Angin Malam, dan Cari Kawan Lain. Setelah itu, Mus Mulyadi baru fokus menjadi penyanyi solo dengan spesialis membawakan lagu-lagu keroncong.Â
Keroncong Dewi Murni, Kota Solo, Dinda Bestari, dan Telomoyo, adalah beberapa lagu yang dibawakannya yang membuat ia dijuluki Buaya Keroncong. Bahkan di Belanda dan Amerika, ia disebut sebagai The King of Keroncong.
Mus Mulyadi sering tampil di berbagai kota, bahkan sampai ke luar negeri, meskipun sejak tahun 1984 sudah terkena diabetes. Penyakit ini kian memburuk sehingga matanya tidak lagi berfungsi sejak 2009.Â
Dalam kondisi seperti itupun Mus Mulyadi masih tetap bernyanyi, meski setiap show harus didamping sang istri tercinta, Helen Sparingga. Mus Mulyadi mempunyai dua anak, seorang putra dan seorang putri, namun tak satupun yang memilih menjadi penyanyi.Â
Selamat jalan Mus Mulyadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H