Hari ini, Kamis (11/4/2019) di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kawasan Kuningan, Jakarta, berlangsung aksi dukungan untuk penuntasan penanganan kasus penyerangan yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan.
Momen aksi tersebut memilih tanggal  11 April karena sekaligus memeperingati dua tahun penyerangan terhadap Novel dan selama itu pelakunya masih belum terungkap. Acara ini dilaksanakan oleh Wadah Pegawai KPK dan Koalisi Masyarakat Sipil.
Acara yang dimulai sejak pagi sekitar jam 10 itu rencananya akan berlangsung samapai malam. Aksi tersebut terdiri dari penampilan musik, orasi dari berbagai elemen masyarakat dan deklarasi anti teror terhadap pemberantasan korupsi.
Namun sekitar jam 12 siang muncul demo tandingan dari dua kelompok yang menamakan dirinya sebagai Aliansi Pemuda Mahasiswa Pengawas KPK dan Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi.
Menurut tempo.co (11/4/2019), aksi tandingan ini membawa spanduk yang bertuliskan "KPK Jangan Berpolitik, stop ambisi kekuasaan Novel Baswedan" dan "Tolak Politisasi KPK".
Kelompok massa demo tandingan sempat membakar ban di jalan depan gedung lembaga antirasuah itu. Terjadi pula aksi saling dorong dan kericuhan saat polisi akan memadamkan api.
Demo tandingan tersebut baru terhenti setelah juru bicara KPK, Febri Diansyah, berbicara di depan pendemo. "Kami pastikan KPK adalah institusi yang independen", Â kata Febri.
Momen peringatan dua tahun penyerangan terhadap Novel Baswedan, harus diakui rawan untuk digoreng menjadi komoditas politik. Soalnya saat ini sudah mendekati akhir masa kampanye pilpres sebelum pemilu tanggal 17 April 2019, tinggal seminggu lagi.
Tentu dalam hal ini yang diuntungkan adalah kubu pesaing petahana, karena belum terungkapnya pelaku penyerangan dianggap utang yang belum diselesaikan oleh penegak hukum sekarang ini.
Maka meskipun Febri Diansyah sudah menyatakan independensi KPK, aspirasi dari massa yang melakukan aksi tandingan, tetap ada hikmahnya. Paling tidak untuk mengingatkan jangan sampai KPK kecolongan disusupi oleh tim kampanye paslon tertentu.
Namun fakta bahwa kasus tersebut belum tuntas tidak bisa ditutupi, apalagi bila berharap agar publik suatu saat akan lupa. Mau pilpres atau bukan, diharapkan pihak kepolisian mampu menyingkap tabir misteri ini.
Atau paling tidak, masyarakat mendapat informasi sejauh mana perkembangan kasus yang menyita perhatian ini. Dengan begitu publik mengerti memang tidak gampang melacak kasus seperti itu, namun tekad kepolisian untuk tetap berusaha dapat dilihat oleh masyarakat.
Toh, jauh sebelum kasus yang menimpa Novel, banyak kasus lain yang sampai sekarang masih kabur, khususnya kehilangan beberapa aktivis yang terjadi sebelum reformasi 1998.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H