Sedangkan komisaris cukup beragam sumbernya. Ada mantan pejabat bank, mantan pejabat Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan, pejabat aktif di Kementerian Keuangan atau Kementerian BUMN, dan dari kalangan akademisi.
Baik untuk posisi direktur maupun komisaris, tentu ada syarat tak tertulis yang justru lebih penting, yakni punya hubungan yang baik dengan penguasa di pemerintahan.Â
Tentu saja aspek kompetensi dianggap sudah kelar yang dapat ditelusuri dari rekam jejak para nominator di masa lalu. Masalahnya yang punya kompetensi itu relatif banyak, maka yang paling dipercaya oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN, yang akan ditunjuk.
Bagaimana agar seseorang bisa dipercaya, tentu harus dikenal terlebih dahulu atau paling tidak di-endorse oleh mereka yang masuk ring 1 dalam struktur pemerintahan.
Sekiranya dalam pilpres mendatang, petahana kembali memperoleh dukungan dari mayoritas rakyat, maka mungkin tidak akan banyak pergantian pengurus bank-bank BUMN, kecuali periode jabatannya telah habis.Â
Periode tersebut biasanya lima tahun, meskipun dapat ditunjuk untuk satu periode berikutnya. Namun dalam praktiknya, periode ini tidak mengikat, dalam arti seseorang yang belum bertugas lima tahun, juga bisa dihentikan atau dipindahkan ke BUMN lain.
Namun ada kemungkinan, meski petahana menang dalam pilpres, para meneteri akan berganti. Sekiranya pergantian itu juga terjadi di Kementerian BUMN, tentu perlu dilihat "selera" menteri yang baru nanti.
Sekadar berandai-andai, bila petahana kalah dalam pilpres, jelas akan membuat peta persaingan yang berebut jabatan direktur dan komisaris di sejumlah BUMN, termasuk BUMN perbankan, akan berubah.Â
Nah, dipandang dari hal di atas, dapat dipahami kenapa memang sebaiknya RUPS bank-bank BUMN dilangsungkan setelah pilpres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H