Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Sebut Anak Bermasalah sebagai Produk Gagal

11 April 2019   09:26 Diperbarui: 11 April 2019   09:37 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah keluarga, lumrah saja bila misalnya dari beberapa orang anak yang dipunyai, ada satu orang yang nasibnya tidak sebaik saudara-saudaranya. 

Misalnya, pendidikannya tidak tuntas sampai menjadi seorang sarjana, pekerjaannya tidak memberikan penghasilan yang cukup, atau mengidap suatu penyakit yang menyebabkan ia sering kontrol ke dokter.

Terhadap kondisi seperti itu, adakalanya dari mulut orang tuanya terlontar secara tidak sengaja bahwa anaknya tersebut sebagai contoh yang gagal. Ibarat buah, ada banyak yang bagus, namun wajar bila ada satu yang busuk.

Tapi betapa terlukanya perasaan si anak jika ia mendengar langsung dari mulut orangtuanya keluar kalimat yang bernada pasrah seperti itu.

Bahkan kalaupun si anak punya kondisi yang lebih parah, misalnya sempat jadi pengguna narkoba, sering begadang, ikut tawuran, atau melakukan tindakan negatif lainnya, tetap saja tidak boleh disebut sebagai produk gagal. Karena ia adalah manusia, bukan produk.

Lha, yang namanya produk saja bisa didaur ulang, apalagi manusia yang selalu dinamis dan gampang berubah. Banyak sekali kita temukan mantan preman yang kemudian memperoleh hidayah lalu sukses sebagai pendakwah. 

Justru tak sedikit orang-orang yang dalam persepsi publik adalah orang baik-baik, orang sukses, tokoh masyarakat, eh belakangan ternyata seorang koruptor yang tertangkap oleh KPK.

Orang tua memang wajib memberikan nasehat atau pandangan demi kebaikan si anak. Tapi jangan memaksakan si anak untuk meraih sukses sesuai standar orang tua. 

Gagal menjadi sarjana, bukan berarti si anak jadi orang gagal. Bahkan bila si anak lebih memilih memulai usaha kecil-kecilan, meski tidak sesuai harapan orangtua, tetap perlu didukung dan kalau bisa difasilitasi.

Ada seorang anak yang sudah dapat pekerjaan di kantor sebuah perusahaan yang mapan, bergaji relatif besar, hanya betah selama 9 bulan saja, setelah itu ia resign yang membuat orang tuanya sedih.

Si anak malah kembali mengembangkan hobi bermain musik dan serius mau jadi pemusik profesional. Ya, bagi orang tua tak ada yang lebih baik daripada mendukung keinginan si anak, dengan anggapan masing-masing anak sudah punya jalannyai sendiri.

Bertengkar sama anak sendiri, jelas bukan langkah yang bijak. Dalam beberapa kasus bahkan ada orang tua yang mengusir anaknya, karena merasa si anak betul-betul keras kepala, tak mau menggubris pendapat orang tua. 

Tindakan mengusir anak biasanya kalau sudah melewati batas tertentu yang tak termaafkan, contohnya mau menikah dengan orang yang tidak disukai orang tua atau ada anak yang berpindah keyakinan. 

Orang tua bilang bahwa anaknya egois, tapi sebetulnya dengan memaksakan kehendak, bukankah orang tua juga secara sadar mempertontonkan keegoisannya?

Jadi, bila anak sudah dewasa, katakanlah sudah berusia di atas 21 tahun, idealnya orang tua membina hubungan yang setara dengan si anak, saling berbicara dan sekaligus saling mendengar.

Sayang kepada anak memang sangat manusiawi, namun rasa sayang itu diwujudkan justru dengan memberi ruang kebebasan berekspresi atau bereksperimen yang lebih luas pada anak. Tentu perlu diawasi namun cukup secara tidak langsung, tanpa terkesan dimata-matai.

Banyak pula orang tua yang merasa minder bila berkumpul dengan kerabat atau paguyuban sesama teman lamanya. Minder karena yang lain bercerita tentang anak-anak mereka yang berhasil pendidikannya dengan memperoleh gelar master di luar negeri, yang bekerja di perusahaan terpandang, dan hal lain yang membanggakan. 

Sementara yang anaknya "hanya" jadi tukang di bengkel mobil, jadi guru honorer di daerah pelosok, jadi petani kecil-kecilan, takut ditanya tentang kondisi anaknya, karena merasa hal itu bukan profesi membanggakan.

Apalagi kalau si anak masih menganggur yang malah disebut sebagai "produk gagal" itu tadi. Tapi sekali lagi, sebaiknya istilah ini jangan digunakan. Sekecil apapun, mereka punya harapan di masa depan. 

Usahakan agar si anak yang bermasalah terbuka menceritakan masalahnya, lalu secara bersama mencarikan jalan keluarnya, tentu juga diiringi dengan doa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun