Saya punya teman yang kebetulan berdomisili di Kebon Baru, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Bagi yang memahami profil Kecamatan Tebet tentu telah mengetahui kontrasnya kehidupan kebanyakan warga Kelurahan Kebon Baru dengan Kelurahan Tebet Timur yang hanya dipisahkan oleh rel kereta api.
Kebon Baru termasuk perkampungan padat, mayoritas tinggal di pinggir gang yang hanya pas-pasan saja untuk dilewati sebuah motor, itupun harus hati-hati karena banyak anak-anak dan emak-emak yang berada di gang karena di rumah mereka yang sempit, sulit untuk bersantai.Â
Akhirnya banyak yang memanfaatkan bagian depan rumah yang mentok dengan gang untuk saling ngerumpi bagi emak-emak atau bermain bagi anak-anak. Antar tetangga di sini memang akrab.
Sedangkan di Tebet Timur relatif sepi, rumah-rumah semuanya berpagar yang relatif tinggi dan sering dalam  kondisi lagi digembok. Antar tetangga tidak akrab, bahkan ada yang tidak saling mengenal.
Nah, kata teman saya itu, bila ada caleg yang ikut bertarung di pemilu mendatang yang membagi-bagi uang atau barang seperti sembako, ia dan juga tetangganya akan menyambut dengan senang hati.
Sekadar uang Rp 50.000 sudah sangat bernilai, karena penghasilan rata-rata mereka relatif kecil. Soal apakah ia akan memilih caleg yang mana, itu soal lain, karena bisa saja yang memberi uang atau barang adalah beberapa caleg, padahal hanya satu caleg yang boleh dipilih.
Rupanya "serangan fajar" ditafsirkan sebagian masyarakat, paling tidak seperti yang ditafsirkan teman saya itu tadi, sebagai bagian dari budaya yang lazim diadakan oleh sahibul bait alias yang punya hajat dalam sebuah acara yang mengundang sejumlah orang.
Bila ada warga yang mengadakan selamatan atau syukuran, maka terhadap tamu yang datang, tuan rumah harus memberikan besek berisi makanan saat si tamu pamit pulang dan juga amplop berisi uang.
Dikaitkan dengan pemilu yang sering disebut sebagai pesta demokrasi, caleg-caleg dipandang sebagai sahibul bait yang kalau tidak menyiapkan besek dan amplop, malah menjadi bahan omongan antar tetangga sebagai orang yang tak paham budaya lokal.
Di Jakarta ada banyak sekali perkampungan dengan tipikal seperti di Kebon Baru yang sesekali warganya merasa senang bila mendapat kesempatan sebagai rombongan jamaah dari suatu masjid untuk menghadiri selamatan dari warga yang lebih mampu. Mereka ramai-ramai melantunkan doa bagi sahibul bait, lalu pulang-pulang membawa amplop sebagai "uang jalan".Â
Dalam pemikiran mereka yang sederhana, serangan fajar ya hanya semacam uang jalan. Bagi-bagi sembako semacam besek yang ditenteng sehabis menghadiri selamatan di suatu tempat.
Tanpa serangan fajar, bisa jadi orang seperti teman saya itu malas datang ke TPS. Saya yang sebetulnya mencoba memberikan pengertian pada sang teman dengan mengatakan serangan fajar sebagai bagian dari "politik uang" dan merupakan tindakan yang dilarang, tidak mendapat respon yang baik.
Malah teman saya balik membalas, dengan menjawab kalau begitu jangan sebut pemilu sebagai pesta demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H