Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kenapa CEO Baru Tergoda Mengganti Logo Perusahaan?

4 April 2019   14:09 Diperbarui: 5 April 2019   09:12 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: entrepreneurcamp.id

Baru-baru ini, Televisi Republik Indonesia (TVRI) berganti logo, tentu dengan nuansa yang lebih kekinian. Kebetulan atau tidak, pergantian logo tersebut terjadi setelah estafet kepemimpinannya beralih ke Helmy Yahya sejak setahun terakhir ini.

Asal tahu saja, logo tersebut merupakan logo ke delapan sepanjang sejarah TVRI yang didirikan tahun 1962 seiring penyelenggaraan Asian Games di Jakarta. Jadi, rata-rata setiap 7 tahun sekali TVRI berganti logo. 

Helmy Yahya yang ingin mengembalikan kejayaan TVRI wajar saja menginginkan logo yang lebih eye catching. Namun sebetulnya bila pemirsa tidak merasakan adanya perubahan pada berbagai acara yang ditayangkan TVRI, logo baru tidak akan banyak membantu. Padahal tentu biaya yang dikeluarkan tidak sedikit buat mengganti logo tersebut, mengingat TVRI punya banyak stasiun di kota-kota provinsi.

Kecuali di perusahaan keluarga yang chief executive officer (CEO)-nya juga berasal dari "orang dalam" yang sangat menghargai generasi pendahulunya, pada umumnya begitu sebuah perusahaan memilih seorang CEO baru, biasanya CEO tersebut akan membawa perubahan dalam budaya kerja dan juga dalam berinteraksi dengan pelanggan atau calon pelanggannya. Dalam konteks inilah akan muncul ide pergantian logo agar cocok dengan visi CEO baru.

Apalagi bila CEO baru telah berhasil mengidentifikasi berbagai kelemahan perusahaan di masa lalu, ada target baru yang lebih menantang yang dicanangkan manajemen, atau ada perluasan pasar sasaran yang akan digarapnya, maka keinginan buat mengganti logo akan semakin kuat.

Demikian pula bila perusahaan akan membuat sejarah baru, akan lebih gampang bila ditandai dengan pergantian logo. Misalnya bila sebuah perusahaan memutuskan untuk go public, melakukan merger atau akuisisi dengan perusahaan lain, atau ingin menghapus jejak kelam masa lalunya yang tertimpa kasus yang menurunkan citra perusahaan.

Namun untuk mengganti logo tersebut, lazimnya tak bisa diputuskan secara spontan. Untuk itu, perusahaan akan meminta bantuan konsultan yang sudah punya nama dalam mengkaji apakah perusahaan perlu mengganti logo, dan bila perlu diganti, logo seperti apa yang direkomendasikannya.

Masalahnya, bila sang CEO terlalu dominan dan konsultan tidak mampu berperan secara obyektif, pasti akan mengakomodir apa maunya CEO. Padahal belum tentu cocok dengan apa yang dikemukakan dalam teori komunikasi visual yang mengratikan logo sebagai cara mengidentifikasi bisnis dan membangun citra dari sebuah perusahaan atau organisasi.

TVRI berstatus sebagai Lembaga Penyiaran Publik, namun tipikalnya mirip dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Seperti diketahui, pergantian logo termasuk lazim di BUMN.

Pertamina yang dulu pakai logo bergambar kuda laut, sekarang logonya berubah total, menjadi lebih simpel dengan huruf P yang terbentuk dari tiga kotak miring berwarna biru, merah dan hijau.

Di antara bank-bank milik negara, Bank Negara Indonesia relatif sering mengganti logo. Dulu pernah memakai logo bergambar perahu layar, sekarang pakai logo dengan mencantumkan angka 46 berwarna putih dalam kotak berwarna oranye, diikuti huruf BNI dengan warna hijau tua. Angka 46 sesuai dengan sejarahnya sebagai bank yang pertama berdiri setelah Indonesia merdeka, yakni pada tahun 1946.

Tapi berbeda kasusnya dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sejak BRI dipimpin oleh Kamardy Arief pada tahun 1983, logonya diganti dan sampai sekarang masih bertahan. Meski telah digunakan selama 35 tahun dan ada 6 CEO lagi yang menjadi orang nomor satu BRI setelah periode Kamardy berakhir.

Sebetulnya pada waktu BRI dipimpin Rudjito, saat akan go public di tahun 2003, konsultan terkenal pernah mengkaji efektivitas logo BRI yang kesimpulannya logo tersebut masih kuat dan selayaknya dipertahankan. Itulah yang diikuti CEO BRI, setia dengan logo lama berupa huruf BRI yang saling bersambung dalam satu kotak dengan warna biru.

Kinerja BRI yang konsisten sebagai bank dengan perolehan laba terbesar di tanah air sejak tahun 2005 sampai sekarang, mungkin juga menjadi pertimbangan kenapa CEO barunya enggan mengganti logo.

Kembali ke TVRI, logo baru berupa huruf TV berwarna biru di luar lingkaran dan huruf RI berwarna putih dalam lingkaran biru, memang lebih menarik. Tapi tantangan bagi Helmy Yahya yang dulu bergelar "Raja Kuis'' karena banyak melahirkan acara kuiz di sejumlah stasiun televisi, lumayan berat dan tidak selesai dengan hanya menggganti logo. 

Secara umum, industri televisi itu sendiri sudah melewati masa keemasannya, dan generasi milenial sudah tidak banyak lagi yang tertarik menonton televisi. Sudah begitu, posisi TVRI juga jauh tertinggal dibanding belasan stasiun televisi swasta nasional. 

Bagaimana caranya dengan anggaran yang relatif kecil dan tim kreatif yang terbatas, dapat melahirkan program yang mencuri perhatian masyarakat, menjadi hal yang jauh lebih penting untuk kemajuan TVRI. Itupun dengan embel-embel program tersebut tidak semata menghibur, tapi ada nilai edukatifnya dan menonjolkan keberagaman di negara kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun