Korea Selatan dan Singapura sama-sama punya 5 bank yang beroperasi di Indonesia. Bank dari Korea Selatan adalah KEB Hana, Woori, Shinhan, Dinar, dan Bank Oke. Sedangkan yang dari Singapura adalah OCBC NISP, Danamon (datanya masih sebelum diakuisisi oleh Jepang), UOB, DBS, dan Bank Amar.
Berikutnya ada 4 bank dari Ingris, yakni Permata, HSBC Indonesia, HSBC, dan Standard Chartered. Malaysia, China, dan Amerika Serikat (AS) masing-masing punya 3 bank. Yang dari Malaysia adalah CIMB Niaga, Maybank Indonesia dan Maybank Syariah Indonesia. Dari AS adalah Citibank, JP Morgan Chase Bank, dan Bank of America. Dari China adalah ICBC Indonesia, Bank of China, dan China Construction Bank.
Masih ada lagi bank dari Australia (ANZ Indonesia dan Commonwealth), India (Bank of India Indonesia dan Bank SBI Indonesia), Timur Tengah (Muamalat dan QNB Indonesia), Thailand (Bangkok Bank), Taiwan (CTBC Indonesia), Perancis (BNP Paribas), Jerman (Deutsche Bank), dan satu bank dari Belanda yang baru saja menghentikan operasinya, Rabobank Internasional Indonesia.
Jadi kalau kita melihat nama bank yang terkesan sebagai nama lokal, jangan buru-buru mengira sebagai bank milik domestik. Bisa-bisa bank tersebut berada di bawah kendali bank asing.
Apakah hal tersebut berbahaya buat perkembangan perbankan nasional? Sebetulnya sepanjang semua bank berbendera asing tersebut mematuhi ketentuan yang dibuat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), bank asing akan sama berkontribusinya dengan bank milik negara dan bank swasta nasional.
Kontribusi dimaksud adalah ikut menggerakkan perekonomian nasional melalui kredit yang disalurkannya kepada dunia usaha. Bahkan untuk bank asing ada nilai plus lain bila berhasil membawa masuk perusahaan-perusahaan dari negara induknya untuk berinvestasi di Indonesia dan juga membantu perusahaan Indonesia menembus pasar ekspor ke negara asal bank tersebut.
Namun bila yang terjadi sebaliknya, tentu menjadi musibah buat kita, misalnya bila dengan segala kelihaiannya bisa mengamankan uang hasil jarahan para koruptor untuk disimpan di banknya, dan bahkan disalurkan sebagai kredit ke negara asal bank tersebut. Ini namanya dua kali rugi, yakni melindungi koruptor sekaligus pelarian modal.
Kemudian akan menjadi kerugian juga bila bank-bank asing lebih banyak membantu agar perusahaan Indonesia mengimpor barang dan jasa dari nasabah bank tersebut di negara asalnya, namun tidak membantu upaya peningkatan ekspor ke negara dimaksud.
Maka kuncinya berada di tangan OJK, apakah mampu mengawasi sepak terjang semua bank asing tersebut secara ketat dan mengarahkan agar bisnis bank asing berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H