Belum lama ini, kepemilikan mayoritas di Bank Danamon yang merupakan salah satu bank papan atas di tanah air, sudah beralih ke pemodal dari Jepang. Detik.com (29/4/2019) memberitakan hal tersebut di bawah judul "Danamon Resmi Dicaplok Bank Jepang, Transaksinya Tembus Rp 52 T".
Bank Danamon didirikan tahun 1956 dan telah melewati rangkaian sejarah yang panjang. Awalnya merupakan bank yang seratus persen milik investor dalam negeri, kemudian bank ini beberapa kali berganti kepemilikan sampai akhirnya lepas ke tangan asing. Â Sempat jatuh ke tangan investor Singapura melalui grup Temasek, sekarang dikuasai oleh Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) dari Jepang.
Tentu saja hal itu menambah panjang daftar bank asing yang berkiprah di tanah air. Bank Tabungan Pensiun Nasional (BTPN), yang diberdiri tahun 1958 dan diprakarsai oleh 7 orang pensiunan militer di Bandung, juga terhitung baru dikuasai oleh bank dari Jepang lainnya, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC).
Akuisisi dari bank asing terhadap bank dalam negeri yang sudah berjalan lebih lama lagi contohnya adalah Bank Niaga yang diambil oleh CIMB dari Malaysia, yang di dalamnya juga telah "menelan" Bank Lippo. Berikutnya ada lagi Bank Internasional Indonesia yang menjadi milik  Maybank, juga dari negara jiran Malaysia. Bank NISP diambil oleh OCBC dari Singapura.  Bank Buana menjadi Bank UOB juga dari Singapura. Â
Bila dilihat dari sisi prinsip resiprokal, kelihatannya memang tidak berimbang. Bank-bank asing semakin banyak mencaplok bank domestik. Sementara bank-bank yang 100 persen milik negeri sendiri susahnya setengah mati sekadar untuk membuka cabang di Singapura atau Malaysia.
Tapi sekarang ada berita yang bisa dibilang sebagai serangan balik. Bank Mandiri yang merupakan bank milik negara tengah menjajaki untuk mengakuisisi Bank Permata yang nota bene pemegang saham pengendalinya adalah Standard Chartered Bank, bank terkemuka asal Inggris. Sayangnya berita tentang progress akuisisi Bank Permata ini tidak banyak diekspos oleh pihak Bank Mandiri.
Industri perbankan memiliki nilai yang strategis, karena sampai saat ini masih menjadi yang paling dominan dalam aktivitas penghimpunan dana dari masyarakat yang mempunyai kelebihan uang dan sekaligus juga menyalurkannya kembali kepada dunia usaha atau masyarakat yang membutuhkan modal.
Memang dengan maraknya keberadaan pendatang baru berupa industri fintech yang memudahkan banyak orang untuk menabung atau mengajukan permohonan kredit cukup melalui aplikasi secara daring saja, memunculkan kekhawatiran akan masa depan perbankan.
Kehadiran fintech boleh jadi akan menggoyahkan bank-bank yang selama ini fokus pada kredit retail dan konsumer. Namun untuk transaksi skala besar yang biasa dalam melayani nasabah korporasi, yang menyimpan dananya atau mengajukan permohonan kredit dalam ukuran triliunan rupiah, tampaknya masih harus mengandalkan perbankan.
Makanya jangan heran, bank-bank asing masih sangat bernafsu untuk masuk ke Indonesia, negara yang diproyeksikan akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke 4 di dunia pada tahun 2045, setelah China, India dan Amerika Serikat. Bahkan Standard Chartered Plc memproyeksikan hal itu bisa terwujud lebih cepat, yakni pada tahun 2030 (okezone.com, 9/1/2019)
Berdasarkan berita di Infobank edisi Mei 2019, sekarang ini terdapat 42 bank asing yang berkiprah di Indonesia dan berasal dari 15 negara. Jepang tercatat sebagi yang paling agresif dengan menempatkan 8 bank yakni Bank of Tokyo, BTPN, Sumitomo Mitsui Indonesia, Mizuho, J-Trust, Resona Perdania, BTPN Syariah dan Nusantara Parahyangan.