Bagi yang pernah ke Jayapura tentu sudah tahu, menjelang mendarat di Bandara Sentani terlihat pemandangan yang amat memukau, perpaduan danau, gunung dan laut. Ya, gunung yang memisahkan Danau Sentani dan Lautan Pasifik itu bernama Gunung Cycloop.
Namun, begitu dalam perjalanan dari Sentani ke Kota Jayapura, barulah terlihat ternyata pada bukit-bukit di bagian bawah gunung tersebut wajahnya relatif gundul, dan ada pula yang dikeruk untuk penambangan pasir.
Jelaslah, gunung yang sangat indah dari kejauhan itu, dari dekat tidak lagi menawan. Dan benar saja, apa yang saya lihat akhir tahun 2015 lalu, terkonfirmasi dari berita Kompas, Selasa (19/3/2019).
Berita tersebut berkaitan dengan banjir bandang yang melanda Sentani yang sudah menelan puluhan korban jiwa. Disebutkan bahwa betapa kritisnya kondisi Cycloop saat ini.Â
Rekomendasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) agar bencana serupa tidak terulang lagi adalah segera melakukan penghijauan di kawasan yang sekarang gundul karena pepohonannya ditebang untuk kayu bakar dan pembukaan lahan untuk kebun.
Padahal bila mengacu pada kearifan lokal, hutan bagi lima suku yang mendiami kawasan yang mengelilingi Gunung Cycloop, disebut sebagai ibu kandung. Kelima suku tersebut adalah Suku Sentani, Moi, Teperaiwena, Imbi Numbay dan Youtefa (papuasatu.com, 30/5/2018).
Kenapa disebut ibu kandung? Kerena kelima suku dimaksud menggantungkan hidupnya dari gunung tersebut. "Dari sinilah kami mendapatkan makanan dan air bersih", kata Ketua Dewan Adat Suku Imbi Numbay, Daniel Toto.
Bahkan Cycloop-lah yang membentengi masyarakat di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura, termasuk makhluk hidup lainnya, dari serangan badai Lautan Pasifik.
Masahnya, kota Jayapura dan sekitarnya termasuk Abepura dan Sentani berkembang demikian pesat yang menarik banyak pendatang. Jangan heran kalau di pinggir jalan sudah banyak jejeran ruko sebagaimana di kota-kota besar lainnya di tanah air.
Makanya sudah saatnya kearifan lokal kembali dilakukan dan dipelihara, termasuk oleh para pendatang. Jangan tergiur dengan keuntungan sesaat, kemudian malah mengundang musibah besar. Dan itulah yang sekarang terjadi.
O ya, Sekadar menambah pengetahuan umum saja, nama Cycloop diambil dari mitologi Yunani yang artinya raksasa bermata satu.
Nama yang terdengar aneh di telinga kita itu disematkan oleh seorang ahli botani terkenal asal Perancis, Louis Antoine Baron de Bougenville, yang melakukan pelayaran ke kawasan Samudera Pasifik.
Pada bulan Agustus 1837, kapal layar yang membawa Bougenville berlabuh di Teluk Imbi, yang sekarang masuk dalam wilayah kota Jayapura.
Bougenville sangat terkesan dengan keindahan sekaligus keangkeran gunung yang dilihatnya, sehingga ia menamakannya Gunung Cycloop.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H