Saya relatif sering jalan-jalan di Jakarta dan sekitarnya bersama istri. Biasanya hal itu saya lakukan di hari Sabtu, Minggu, atau hari libur nasional.Â
Tentu saja saat lagi di jalan, di kawasan pertamanan, atau di mal, bila lagi perlu "ke belakang", kami harus berpisah. Saya masuk toilet pria dan istri masuk toilet wanita.
Nah, biasanya saya lebih duluan selesai dalam menuntaskan urusan biologis itu. Saya harus menunggu 5 sampai 10 menit baru bisa menggandeng istri lagi.
Bila saya agak kesal, saya akan bertanya kok lama banget? Istri saya biasanya menjawab bahwa di toilet cewek, harus antrian dulu.
Tapi kondisi yang lebih parah yang saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri, adalah pada Sabtu yang lalu (16/3/2019) di sebuah mal di Jakarta Selatan.
Ketika itu kami mau menunaikan salat magrib di musala yang ada di lantai 3 mal tersebut. Namun begitu mau masuk lorong ke arah musala, ada antrian yang mengular panjang di sisi kiri. Artinya itu yang menuju musala wanita, karena yang di sisi kanan adalah musala untuk pria.
Saya tidak tahu seberapa luas musala wanita, namun yang pasti untuk pria lumayan luas, saya taksir bisa menampung sekitar 80 sampai 100 orang. Tidak banyak mal yang punya musala seluas itu.
Waktu magrib relatif pendek, hanya sekitar satu jam, makanya tak heran banyak yang terburu-buru. Sedangkan di waktu salat selain magrib, pemandangan seperti itu tidak terlihat, karena waktu salat yang lebih longgar, meskipun lebih afdhol bila dilakukan di awal waktu.Â
Kembali ke urusan toilet, dari pengalaman istri saya di beberapa tempat, jumlah yang bisa dipakai secara paralel di toilet wanita, tampaknya lebih sedikit ketimbang toilet pria.Â
Sudah begitu, proses pemakaian toilet oleh seorang wanita tentu lebih lama karena pakaiannya lebih ribet. Sedangkan pria bisa melakukannya sambil berdiri.
Makanya, mengingat perbandingan jumlah wanita dan pria yang menggunakan ruang publik relatif berimbang, seharusnya dalam merancang pembangunan toilet dan musala, jumlahnya juga harus seimbang.