Saya keliru, dulu setiap membaca berita tentang aksi para ibu-ibu pada setiap hari Kamis, makanya lebih sering disebut sebagai "Aksi Kamisan", saya menilai sebagai hal yang mubazir.
Seperti saat saya membaca kompas.com (17/1/2019) yang menurunkan berita tentang aksi ke 570 kalinya bertepatan dengan ulang tahun ke 12 dari aksi damai yang dilakukan para keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, saya salut dengan "nafas panjang" para pelaku aksi damai itu, tapi juga sekaligus menilai sebagai sebuah kegagalan buat move on.Â
Aksi Kamisan pertama kali digelar pada tanggal 18 Januari 2007 dan berlanjut setiap Kamis pukul 16.00 sampai 17.00. Para peserta memakai atribut serba hitam, berdiri, diam, berpayung hitam bertuliskan berbagai kasus pelanggaran HAM.Â
Aksi yang sering mengambil tempat di depan Istana Negara Jakarta ini diikuti oleh peserta dari berbagai kota karena memang para korban pelanggaran HAM juga berasal dari banyak daerah, khususnya di Pulau Jawa.
Nah, penilaian saya berbalik, setelah saya menamatkan membaca sebuah novel yang mencekam seputar pengalaman para korban pelanggaran HAM di penghujung era Orde Baru. Â Novel tersebut berjudul "Laut Bercerita" karya Leila S. Chudori yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta, cetakan kelima, November 2018.
Sebagai catatan, cetakan pertamanya diterbitkan pada bulan Oktober 2017. Artinya, novel tersebut tergolong laris, karena baru setahun telah mengalami cetak ulang berkali-kali.Â
Mudah-mudahan saja ada produser film yang tertarik mengangkatnya ke layar lebar agar bisa menjangkau khalayak ramai. Hal ini penting untuk mengedukasi betapa pentingnya perjuangan dalam penegakan HAM.
Tentu saja pada Laut Bercerita, nama tokoh-tokohnya adalah rekaan penulisnya yang bersifat fiktif. Namun Leila menulis bahwa novel ini terinspirasi dari rangkaian kisah nyata yang diceritakan banyak narasumber yang kehilangan anak, saudara, sahabat, kekasih karena keterlibatan dalam aksi menentang pemerintah waktu itu. Termasuk pula yang menjadi narasumber beberapa anak muda korban penculikan dan penyiksaan.
Bisa dibayangkan batapa pedih rasanya bila kita kehilangan orang-orang yang kita sayangi yang sampai sekarang tidak terlacak di mana jejaknya, atau kalaupun sudah meninggal, tak tahu di mana kuburannya.
Dulu saya  berasumsi korban tersebut sama dengan yang dialami para pahlawan yang gugur saat berperang merebut kemerdekaan yang juga banyak tak tahu rimbanya, tapi dapat diterima dengan ikhlas oleh keluarga korban.Â
Sekarang, dibantu oleh Laut Bercerita, saya sadar pelanggaran HAM sungguh berbeda dengan perjuangan saat peperangan. Betapa dengan sudut pandang korban dan keluarganya, pembaca seolah-olah bisa ikut merasakan penyiksaan keji yang dialami korban dan kepiluan hati keluarganya yang selalu berharap anak yang hilang bisa kembali.Â