Terbentuknya Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang dikukuhkan di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 8 Maret 2019, pantas diapresiasi. Paling tidak, sudah ada wadah dari para pelaku bisnis yang menyediakan fasilitas kredit secara online atau dalam jaringan (daring) ini.Â
Bila ada anggota asosiasi yang nakal, lebih gampang melakukan penertiban, dengan catatan AFPI telah merumuskan dan menyepakati suatu kode etik bisnis yang harus dipatuhi. Jangan sampai gara-gara beberapa anggota yang melanggar kode etik, tapi semua kena getahnya.
Demikian pula dari kacamata regulator, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan adanya AFPI, tentu OJK lebih gampang berkoordinasi untuk menetapkan ketentuan dan sekaligus melakukan pengawasan yang berkaitan dengan bisnis daring yang lagi berkembang cepat ini.
OJK tentunya di samping bertujuan melindungi kepentingan nasabah, juga memperhatikan kepentingan perkembangan bisnis pinjaman berbasis teknologi informasi, sehingga terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara nasabah dan penyedia layanan pinjaman daring.
Nantinya para karyawan yang berkarir di usaha pinjaman daring juga diharapkan bisa membentuk semacam wadah yang memepersatukan mereka yang tersebar di banyak penyedia layanan. Soalnya, ternyata yang mengeluh tidak saja nasabah yang jadi korban pinjaman daring, karyawan yang melakukan penagihan juga mengeluhkan cara kerja mereka yang dipaksakan atasannya.
Tribunnews.com (17/3/2019) menuliskan tentang korban aplikasi pinjaman daring, ada yang meminjam Rp 1 juta, cuma dikasih Rp 600 ribu, dan bisa berubah utangnya membengkak jadi Rp 3 juta dalam sebulan. Nasabah mengaku diteror saat ditagih. Tapi seorang mantan karyawan pinjaman daring mengatakan bahwa ia melakukan hal tersebut semata-mata karena diancam juga oleh bosnya.
Terlepas dari itu, perkembangan pinjaman daring memang bertumbuh sangat cepat. Kompas (10/3/2019) memberitakan, akumulasi pinjaman yang tersalur sejak tahun 2016 sampai akhir Januari 2019 telah mencapai Rp 25,97 triliun. Artinya, masyarakat mulai akrab dengan pinjaman berbasis teknologi informasi.
Berkenaan dengan pelantikan pengurus AFPI, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank OJK, Riswinandi, mengharuskan penyedia layanan menerapkan prinsip 5C dalam memberikan pinjaman sebagaimana yang dilakukan pihak perbankan.
Prinsip 5C tersebut merupakan dasar dari kelayakan pemberian kredit yang terdiri dari character (karakter calon nasabah), capacity (kapasitas atau kemampuan calon nasabah dalam mengembalikan pinjaman), capital (modal yang dimiliki calon nasabah), condition (kondisi perekonomian secara makro), dan collateral (agunan yang dimilik calon nasabah, bisa berupa SK kepegawaian bagi seorang nasabah yang berstatus karyawan).
Masalahnya adalah, disinyalir banyak penyedia pinjaman daring tidak menerapkan prinsip 5C di atas. Nasabah yang awalnya merasa diuntungkan dengan sangat mudahnya menerima kredit, ujung-ujungnya tersiksa karena ditagih secara paksa dengan bunga yang jauh di atas suku bunga bank.
Riswinandi juga menegaskan tentang larangan dari OJK pada penyedia pinjaman daring untuk tidak meyalahgunakan data pribadi nasabah, termasuk data pinjamannya.