Jujur saja, sesungguhnya saya tidak punya kompetensi untuk menulis di bidang hukum. Namun karena membaca opini di Kompas, 9/3/2019, yang berjudul "Ketajaman Penegakan Hukum" ditulis oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Suparman Marzuki, saya tergelitik untuk mengangkatnya di Kompasiana.
Saya hanya ingin mengangkat satu hal, tentang perlakuan terhadap seseorang yang disangka melakukan kejahatan, apakah polisi akan melakukan penahanan atau tidak, menurut Suparman Marzuki yang mengutip dari Donald Black, 1980, bergantung pada sejumlah variabel, yakni (a) ras tersangka; (b) sifat serius dari kejahatan yang didakwakan; (c) tersedianya bukti di tempat kejadian; (d) pilihan keinginan pelapor; (e) hubungan sosial antara tersangka dan pelapor-penderita; dan (f) dengan cara bagaimana polisi masuk sehingga menangani perkara bersangkutan.
Nah, terlepas dari beberapa variabel lain, saya tertarik mengulas hubungan antara ras dengan keputusan penahanan atas seorang tersangka. Dalam hal ini saya memperluas pengertian ras tidak hanya sekadar warna kulit tapi juga suku seseorang.
Memang, dalam tulisan Suparman Marzuki, mungkin saya kurang teliti, tidak menemukan penjelasan, apakah referensi yang menjadi acuan (Donald Black, 1980) tersebut, Â diterapkan di Indonesia atau tidak.
Mari kita ikuti berita yang hangat di media masa, contohnya kasus yang menimpa Plt. Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, yang dijadikan tersangka oleh Satgas Antimafia Bola, yang dibentuk oleh pihak kepolisian, ternyata tidak ditahan.
Apakah hal itu karena Jokdri, sapaan akrab Joko Driyono, Â terlihat bertutur kata yang halus dan sopan khas orang Jawa? Sepertinya tidak demikian, karena ada banyak tersangka yang kebetulan juga bersuku Jawa yang langsung ditahan.
Dalam peta kriminal di Jakarta, sudah diketahui umum bahwa ada kawasan tertentu yang dikuasai oleh kelompok preman yang sama-sama perantau asal daerah tertentu. Ada kelompok Medan, Padang, Palembang, Surabaya, Ambon, Flores, sampai yang berasal dari sebuah pulau yang jarang terdengar namanya, Pulai Kei di Maluku Tenggara.
Tentu jangan dilupakan pula bahwa kelompok asli Jakarta sendiri yang bersuku Betawi juga punya para jagoan yang berani adu jotos untuk mempertahankan daerah "kekuasaannya".
Suku-suku yang tak disebutkan di atas, bila ditelusuri, boleh jadi juga punya geng sejenis di ibukota. Karena hakikatnya pada suku manapun ada orang baik-baik dan ada pula orang yang gampang melakukan tindak kriminal.
Jadi, bila misalnya faktor suku turut menjadi pertimbangan, meskipun juga dengan melihat berbagai faktor lainnya, tentu hal itu pantas dipertanyakan.
Jelas tidak mengenakkan bagi masyarakat yang berasal dari suatu daerah tertentu, bila secara tidak langsung mendapat label sebagai gudangnya pelaku kriminal.Â
Namun yang disebut "gudangnya" itu rasanya tidak mungkin dipukul rata menjadi semua warga di daerah tersebut. Pastilah dibanding keseluruhan penduduk di sana, secara persentase tergolong kecil.
Mudah-mudahan unsur suku, ras, agama, di negara kita tidak dijadikan salah satu variabel dalam menentukan apakah seorang tersangka perlu ditahan atau tidak.Â
Bahkan secara sembunyi-sembunyipun, misal menahan seorang tersangka dengan menyampaikan alasan formal takut menghilangkan barang bukti, padahal karena si tersangka berasal dari daerah atau suku tertentu, sebaiknya tidak dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H