Tadi siang, Rabu (6/3/2019) saya lagi pulang dari sebuah kampus di Kemang ke rumah saya di Tebet, yang sama-sama berada di Jakarta Selatan.
Saya punya kebiasaan membaca buku kalau lagi dalam perjalanan. Makanya saya tidak begitu meladeni bila sopir taksi memancing pembicaraan, apalagi yang berbau politik. Banyak sopir taksi yang main tembak langsung bertanya ke penumpangnya nanti mau memilih Jokowi atau Prabowo, yang kadang-kadang bikin penumpangnya tidak nyaman untuk menjawab.
Tapi kali ini saya terlibat diskusi panjang karena awalnya sang sopir mengajukan pertanyaan yang menurut saya agak nyeleneh. Ketika itu pas di pinggir jalan ada beberapa spanduk besar yang masing-masingnya bertuliskan nama seorang caleg, partai yang diwakilinya, dan nomor urutnya di pileg.Â
Nah, tiba-tiba ia menoleh ke saya yang duduk di belakang sambil bertanya:"Kalau spanduk itu saya ambil satu, boleh gak ya pak?". Ia terlihat bertanya tulus dan dari logatnya saya menduga ia berasal dari sekitar Tegal, Jawa Tengah.
Saya jawab asal-asalan saja pada awalnya, bahwa kemungkinan besar kalau bapak minta baik-baik ke si pemasang sehabis pemilu tentu boleh saja, tapi harus berpacu sebelum dibersihkan oleh aparat yang berwenang.Â
"Emangnya untuk apa?", tanya saya. Ini yang bikin saya tertarik sehingga diskusi jadi berkepanjangan. Ia melihat bahan spanduk tersebut cukup kuat untuk dijadikan "orang-orangan" yang di pasang di areal persawahan di kampungnya.
Dalam hati saya mengatakan bagus juga ide sopir taksi tersebut. Bagi orang desa tentu harga kain cukup mahal, maka daripada ada kain yang tidak terpakai lagi, kenapa tidak dimanfaatkan?Â
Kebanyakan spanduk tersebut dugaan saya akan ditumpuk saja di gudang di rumah caleg atau di kantor instansi yang berwenang membersihkan atribut kampanye, meskipun pernah juga saya melihat dipakai buat pembatas oleh pedagang makanan di pinggir jalan. Tapi jadi "orang-orangan" di sawah untuk mengusir burung, betul-betul tidak terpikirkan oleh saya.Â
Tentu akan seru juga bila di sepanjang pantura ditemukan banyak sekali patung bergambar caleg, lengkap dengan warna-warni partainya, untuk menakut-nakuti burung.
Kemudian saya bertanya, ia akan memilih di mana saat pemilu April mendatang. Ternyata betul ia ber-KTP Tegal, tapi katanya ia mungkin tidak ikut memilih karena tidak tahu cara pindah TPS ke Jakarta. Sedangkan kalau pulang kampung untuk sekadar memilih di pilpres, sayang uang transpornya, di samping ia kehilangan uang tidak menarik taksi selama minimal dua hari.
Lalu sang sopir pun bercerita bahwa ia tak berminat ikut pilpres karena merasa siapapun yang menang, nasibnya akan tetap jadi sopir taksi. Berbeda kalau pemilihan kepala desa (pilkades), ia akan bela-belain pulang kampung.
Ia dengan bangga bercerita dari lima kali pilkades yang diikutinya, 4 kali calon jagoannya menang, tapi yang terakhir jagoannya kalah, sehingga ia betul-betul merasa terpukul. Menurut sang sopir, kepala desa yang bagus sangat berdampak pada kehidupan masyarakat desa yang dipimpinnya.Â
Saya mencoba memberikan pemahaman bahwa ikut pilpres dan pileg itu penting, meskipun nasib kita mungkin tidak banyak berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H