Sebetulnya kalau ingin efisien, program pelatihan yang kami ikuti cukup diadakan di Jakarta saja, karena pesertanya sekitar 20 orang semuanya berasal dari kantor pusat pada sebuah perusahaan tempat saya bekerja. Ditambah lagi karena instrukturnya berasal dari Lembaga Psikologi Universitas Indonesia, yang juga orang Jakarta.
Tapi pihak manajemen perusahan sengaja memilih kota Semarang, dan itupun diadakan di sebuah hotel berbintang lima yang sangat representatif. Artinya perusahaan harus mengeluarkan biaya tiket pesawat Jakarta-Semarang pulang pergi (padahal tiket pesawat lagi mahal lho, masak one way-nya lebih dari Rp 1 juta, meskipun di kelas ekonomi).
Belum lagi biaya akomodasi untuk 10 kamar (satu kamar untuk 2 orang) selama 2 malam, yakni malam sebelum pelatihan dan malam setelah pelatihan. Pelatihannya berlangsung dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, tentu saja membayar lagi sewa ruang pertemuan di hotel tersebut plus dua kali snack dan sekali makan siang. Saya jadi teringat ruang rapat yang cukup besar di kantor yang sering kosong.Â
Tulisan ini tidak bermaksud membahas konten pelatihan karena saya berniat menuliskannya secara terpisah. Tapi sudah menjadi kebiasaan bagi saya dan teman-teman di kantor, sejak zaman memulai karir dulu, program pelatihan seperti itu dianggap sebagai "program perbaikan gizi".
Soalnya, terutama saat masih berstatus staf tanpa jabatan, meskipun kami berkantor di salah satu gedung tertinggi di Jakarta, rata-rata banyak yang sarapan pagi meminta office boy membelikan bubur ayam, lontong sayur, atau aneka gorengan, yang banyak dijual pedagang makanan kelas pinggir jalan di dekat kantor.
Banyak pula yang meminta office boy merebus mi instan di pantry yang ada di setiap lantai. Ini memang menjadi bisnis sampingan para office boy yang sengaja menyetok mi instan.Â
Lalu, saat makan siang, kami ramai-ramai keluar gedung kantor dan menyebar memenuhi warung-warung makanan, lagi-lagi kelas pinggir jalan, atau kelas amigos (agak minggir got sedikit) karena dekat kantor di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, memang ada kali, lebih besar dari got.
Bayangkan, begitu ikut pelatihan, gaya makan kami langsung berubah total, lebih banyak variasinya dan juga jumlah kalori yang masuk ke tubuh. Seperti di Semarang kemarin,  kudapan saat coffe break masih terasa mengenyangkan di perut, eh sudah masuk jadwal makan siang di restoran hotel yang  pakai sistem buffet. Dasar jarang makan enak, semuanya ingin dilahap, bikin perut diisi melebihi kapasitasnya.
Maka meskipun dalam guyonan sesama karyawan kondisi tersebut sering disebut sebagai program perbaikan gizi, jadinya malah overload yang pasti juga tidak sehat.
O ya, apakah manajemen merasa rugi dengan mengirim karyawannya ke luar kota, padahal bisa dilakukan di ruang rapat kantor? Tentu ini bisa diperdebatkan.Â
Yang jelas menurut penuturan seorang pejabat yang memberikan kata sambutan sebelum pelatihan dimulai, pihak manajemen berharap para peserta bisa bersemangat, menikmati suasana baru sebagai refreshing, salah satu bentuk reward dari manajemen bagi karyawannya, dan juga sebagai sarana untuk meningkatkan kekompakan sesama karyawan.Â