Bagi para investor di pasar modal, khususnya yang aktif membeli dan menjual saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) mungkin dibuat bingung oleh rekomendasi dua lembaga independen yang rutin merilis hasil analisisnya atas kondisi perekonomian Indonesia serta proyeksinya ke depan, yang menjadi rujukan bagi para investor.
Tulisan ini tidak menekankan untuk mencari proyeksi mana yang betul. Perbedaan hasil hitung-hitungan para analis, yang berlabel internasional sekalipun, adalah hal lumrah.
JP Morgan lebih optimis melihat kondisi Indonesia, dengan memprediksi pasar saham Indonesia akan tumbuh dua digit di tahun ini. Â Pendapat yang bertolak belakang dikemukakan oleh Credit Suisse. Rekomendasi yang dirilis Credit Suisse terhadap pasar saham Indonesia adalah 10% underweight (mengurangi bobot) yang artinya investor agar menjual sebagian sahamnya.Â
Padahal pada periode yang lalu rekomendasi dari Credit Suisse adalah 20% overweight sehingga tak heran pada Januari sampai minggu pertama Februari 2019 lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI cenderung naik.Â
Beberapa saham unggulan harganya meroket karena banyaknya pembeli. Sebagai contoh, saham-saham sektor perbankan, antara lain yang sering saya amati Bank Central Asia dan Bank Rakyat Indonesia, mencapai rekor harga tertingginya, meski setelah itu mengalami sedikit penurunan.
Saya teringat waktu masih aktif bekerja di sebuah perusahaan milik negara yang sudah go public, setiap bulan pada rapat yang diikuti oleh para direktur, kepala divisi, dan kepala wilayah (yang dari luar Jakarta memakai saluran video confrence), divisi yang membidangi investor relation selalu mempresentasikan rekomendasi para analis pasar modal.
Biasanya ada sekitar 20-an analis yang sebagian besar berlabel asing, yang selalu rutin mencermati laporan keuangan perusahaan tempat saya bekerja, mengikuti paparan kinerja dari direksi setiap triwulan, bahkan di antaranya ada yang minta waktu khusus untuk wawancara dengan manajemen.Â
Dari kajian mereka keluarlah rekomendasi apakah sell, buy, atau hold. Jika perusahaan tempat saya bekerja dinilai kinerjanya ke depan akan kinclong, tentu disarankan untuk dibeli (buy) sahamnya, dan sebaliknya dijual (sell) bila diprediksi kinerjanya akan turun, atau ditahan (hold) bila tak banyak perkembangan.
Direksi akan kebakaran jenggot bila lebih banyak analis yang merekomendasikan sell dibanding yang buy. Karena bila rekomendasi itu diikuti oleh banyak investor maka harga saham perusahaan akan anjlok.Â
Bila anjloknya berlanjut pada waktu yang relatif lama, maka reputasi manajemen perusahaan bisa jatuh, meskipun hal itu bisa terjadi karena pengaruh faktor eksternal. Tak bisa lain, direksi harus mampu meyakinkan analis bahwa jalannya perusahaan masih on the right track, target bisnis perusahaan optimis akan tercapai.