Sesuai data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata per kapita Indonesia telah mencapai 3.927 dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2018. Bila dirupiahkan angkanya sekitar Rp 55 juta per orang per tahun. Dibanding tahun 2017 yang angkanya menunjukkan 3.876 dolar AS, terdapat sedikit peningkatan.
Namun yang sedikit tersebutlah yang membuat status Indonesia berhasil naik kelas. Soalnya Bank Dunia punya kriteria di titik 3.895 dolar AS per tahun sebagai batas atas negara berpendapatan menengah ke bawah.
Untuk lebih jelasnya, Bank Dunia mengelompokkan negara berdasarkan pendapatan rata-rata per kapita sebagai berikut: kelompok rendah di bawah 995 dolar AS, menengah ke bawah dari 996 dolar AS sampai 3.895 dolar AS, menengah ke atas 3.896 dolar AS sampai 12.055 dolar AS, dan kelompok tinggi atau maju untuk negara dengan pendapatan per kapita di atas 12.056 dolar AS per tahun.
Sebetulnya secara kasat mata indikator bahwa pendapatan masyarakat Indonesia secara umum mengalami peningkatan sangat gampang terlihat. Namun hal ini tidak bisa diklaim sebagai hanya hasil pembangunan selama periode kabinet tertentu, karena bersifat kumulatif dari masa ke masa, khususnya sejak dekade 1990-an, meski sempat terjerembab saat krisis moneter 1998.
Sekarang bila sebuah keluarga yang tinggal di perkotaan, punya rumah meskipun kecil, punya mobil meskipun bekas, sering belanja, sering makan di luar rumah, sudah biasa naik pesawat, anak-anaknya ikut berbagai les, sudah lumrah terlihat.
Tentu jauh berbeda bila dibandingkan dengan kondisi tahun 1970-an, ketika kebanyakan orang masih naik sepeda, punya sepeda motor sudah dianggap berpunya.
Masalahnya semakin banyak punya uang, tingkat konsumsi juga semakin naik. Ini selalu kejar-kejaran. Makanya ada ungkapan, uang berapa saja gak bakal cukup. Jadi, bila keluhan dari banyak orang masih muncul, wajar saja.
Perhitungan pendapatan rata-rata per kapita tidak lengkap rasanya bila tidak membahas ketimpangan atau kesenjangan pendapatan. Soalnya bila ada segelintir orang super kaya yang mendominasi pendapatan nasional, hal itu akan menambah angka rata-rata pendapatan per kapita.
Coba kita hitung pakai model sederhana saja. Bila pendapatan per kapita selama setahun Rp 55 juta, artinya untuk keluarga yang terdiri dari empat orang, suami istri dan dua anak, harus punya pendapatan Rp 220 juta setahun atau sekitar Rp 18,5 juta per bulan.
Jangan-jangan jumlah kepala keluarga yang punya penghasilan sebesar Rp 18,5 juta sebulan, relatif belum banyak, katakanlah belum sampai separoh dari penduduk usia kerja. Jika memang begitu, tentu pendapatan sebagian kecil masyarakat super kaya yang mendongkrak sehingga Indonesia berhasil masuk kelompok negara berpendapatan menengah ke atas.
Masalah ketimpangan tersebut dari buku teks ilmu ekonomi, kriteria yang biasa digunakan adalah Gini Ratio (GR) yang angkanya berkisar dari 0 (nol) sampai 1. Semakin kecil artinya semakin merata dan semakin besar artinya semakin timpang.
GR nol menggambarkan pemerataan yang sempurna, semua orang sama penghasilannya. Sedangkan GR 1 adalah kesenjangan yang sempura, kekayaan hanya dikuasai 1 orang. Kedua kondisi ekstrim ini dalam kenyataan tidak ditemukan.
Bila ditelusuri, data terbaru GR Indonesia untuk kondisi akhir tahun 2018 belum tersedia. Namun dari data yang diberitakan media, pada posisi Maret 2018 tercatat sebesar 0,389, membaik 0,004 ketimbang Maret 2017 yang sebesar 0,393.
Penurunan GR Indonesia sejalan dengan pernyataan pemerintah tentang turunnya jumlah penduduk miskin. Suatu hal yang pantas diapresiasi.
Namun PR yang masih menunggu tidak bisa diabaikan. Coba simak data yang dikutip dari katadata.co.id (30/10/2018), yang sumber aslinya adalah Global Wealth Report 2018 yang dirilis oleh Credit Suisse.
Disebutkan bahwa 1% orang terkaya Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan semua penduduk dewasa di tanah air. Kalau diperluas lagi, 10% orang terkaya menguasai 75,3% dari total kekayaan penduduk. Artinya, ketimpangan antar kelompok kaya dan miskin masih jadi masalah besar.
Kalau kita berjalan-jalan di mal mewah di Jakarta dan Surabaya, akan gampang terlihat kelompok mana yang memang punya daya beli tinggi dan kelompok mana yang ke mal sekadar cuci mata saja.
Jelaslah, meskipun berbagai program pemerintah terkait pemberdayaan ekonomi terhadap masyarakat miskin sudah berjalan, demikian pula berbagai program corporate social responsibilities dari perusahaan besar terhadap warga kurang mampu, tetap diharapkan frekuensi dan jumlah bantuannya di masa depan lebih besar lagi, agar terjadi redistribusi pendapatan dari kelompok masyarakat mampu ke kelompok masyarakat kurang atau tidak mampu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H