Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Kaya Juga Bisa Bahagia

7 Februari 2019   11:26 Diperbarui: 7 Februari 2019   11:30 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ada yang merasa aneh dengan judul di atas, maka berarti dugaan saya tepat. Saya awalnya memang sudah ragu memakai judul itu, takut dibilang: "ya iyalah, orang kaya kalau berbahagia bukan hal aneh, tak perlu dibahas".

Masalahnya begini, cukup banyak tulisan tentang bahagia yang tidak tergantung pada uang, hal yang saya setuju seratus persen. Tapi tidak berarti orang kaya berkemungkinan besar tidak berbahagia karena sibuk mengurus harta dan tidak hangat dalam hubungannya dengan keluarga sendiri, apalagi dengan teman dan tetangga.

Penggambaran orang kaya yang kalah bahagia dari orang yang hidup sederhana sering muncul dalam puisi, lagu, cerpen, novel, dan film. Lagu tentang orang kaya yang mabuk kepayang, cukup banyak. Orang kaya identik dengan sombong, suka dugem, berfoya-foya, dan merasa semua bisa dibeli dengan uangnya. 

Sedangkan orang sederhana digambarkan hubungan kekeluargaannya lebih akrab, makan lahap meski hanya nasi dengan lauk tempe, tidur nyenyak meski di tikar lusuh.

Kebetulan ide tulisan ini lahir setelah saya menonton film nasional berjudul "Orang Kaya Baru", setelah sebulan sebelumnya saya menonton "Keluarga Cemara". 

Kedua film itu seperti bertolak belakang. Orang Kaya Baru tentang keluarga sederhana tiba-tiba jadi kaya, sedangkan Keluarga Cemara berkisah dari keluarga kaya menjadi miskin.

Tapi kalau dicermati, pesan moral kedua film itu sama, yakni kebahagiaan lebih berpihak pada orang-orang yang secara materi pas-pasan saja.

Orang Kaya Baru diakhiri dengan pernyataan bahwa ternyata tinggal di rumah kecil di gang sempit dirindukan kembali, setelah mengetahui tinggal di rumah mewah membuat masing-masing anggota keluarga sibuk sendiri-sendiri. 

Seolah-olah dengan menjadi kaya, kebahagiaan yang dulu ada tercabut seketika, meski saat awal menjadi kaya mereka begitu gembira. Lama-lama mereka sadar sudah kehilangan momen kehangatan makan bersama sekeluarga dengan perbincangan yang hangat.

Keluarga Cemara juga seperti itu. Sebuah keluarga berada tiba-tiba jatuh miskin dan terpaksa pindah dari kota besar ke kampung. Awalnya mereka terlihat shock. Namun kemudian, setelah keluarga yang mendadak miskin tersebut punya kesempatan untuk kembali tinggal di kota besar, mereka lepas karena sudah mulai nyaman dan menemukan kebahagiaan dengan hidup di desa. 

Tak ada yang salah dengan kisah di kedua film tersebut, karena dalam kehidupan sehari-hari, mungkin saja kita temui. Seperti pengalaman saya sendiri yang berasal dari orang tua yang hidup sederhana, alhamdulillah kami sekeluarga merasa hepi-hepi saja.

Dan tanpa bermaksud bergunjing, ada keluarga lain yang masih terhitung kerabat orang tua saya, yang menurut kami hidupnya tergolong mewah, rumah tangganya agak berantakan karena anak tunggal lelakinya yang terlibat narkoba, berjudi, dan hal negatif lainnya.

Tapi jelas keliru bila gambaran orang kaya yang "rusak" serta orang sederhana yang hidup tenang dan damai, dijadikan streotype. Kasihan juga bila orang kaya dijadikan bulan-bulanan di film, lagu, puisi, atau novel.

Soalnya, tidak sedikit orang kaya yang baik budi, merakyat, mau bergaul dengan orang kecil. Keluarga mereka tidak retak, malah kompak. Ibadah mereka juga bagus.

Banyak pula orang miskin yang "rusak" sehingga menjadi pelaku kriminal, sering berkata kasar, dan tidak terlihat melakukan ibadah.

Jadi, kita harus kembali ke pendapat yang mengatakan bahwa kebahagiaan itu tidak berhubungan dengan uang. Artinya, baik orang kaya maupun miskin, sama-sama bisa berbahagia, dan juga bisa sama-sama tidak bahagia. 

Tentu kita tidak berharap ada orang yang menutupi kemalasannya bekerja karena merasa nyaman dengan kehidupan yang santai, malah berkilah buat apa kaya kalau akhirnya tidak bahagia.

Padahal tuntunan agama menyuruh kita berusaha sekuatnya, baru serahkan hasilnya pada Yang Maha Kuasa. Orang Islam misalnya, perlu kaya agar mampu membayar zakat dan naik haji. Tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun