Belum lama ini masyarakat di Kota Padang, Sumatera Barat, dihebohkan dengan ditemukannya sate daging babi. Seperti dilansir dari tribunnews.com (30/1), hal itu terungkap saat Satpol PP Kota Padang bersama Dinas Kesehatan dan Dinas Perdagangan, mengamankan daging sate yang diduga daging babi di kawasan Simpang Haru, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang, Selasa (29/1) yang lalu.
Warung sate yang terkena penggerebekan tersebut adalah "Sate KMS" dan sudah diselidiki oleh pihak yang berwenang sejak satu bulan sebelumnya setelah adanya pengaduan dari masyarakat. Petugas berhasil mengamankan ratusan tusuk sate yang diduga mengandung daging babi, termasuk gerobak satenya dibawa ke Mako Pol PP Kota Padang.
Ternyata belakangan tersiar lagi berita, antara lain dari jawapos.com (30/1), bahwa Sate KMS yang digerebek, lebih akuratnya memakai merek "KMS B". Soalnya, pemegang hak merek Sate KMS Group benar-benar marah atas pencatutan nama KMS oleh pihak lain.
Ilyas, sang pemilik merek KMS menyatakan bahwa hanya ada empat warung sate KMS di Kota Padang, yakni di jalan Permindo, Patimura, Simpang Kalawi, dan Siteba. Kemudian ada lagi di Pariaman. Sejak kasus daging babi terkuak, Ilyas merasakan dampak yang merugikan grup warung satenya.
Dulu Ilyas sudah pernah menegur pengelola KMS palsu, lalu sejak dirubah menjadi KMS B, Ilyas membiarkannya. KMS sendiri berarti "KaMi Saiyo" yang sudah dipakai turun temurun sejak dikelola orangtua Ilyas.Â
Kasus di atas menarik ditinjau dari sisi etika bisnis. Tidak hanya di Padang, akhir-akhir ini demi menuai keuntungan yang berlipat, telah sering terungkap berbagai kasus di sejumlah kota di negara kita. Ada yang menggunakan ayam tiren (mati kemaren), daging tikus, dan modus lainnya.
Terkoyaknya etika bisnis sebagian pedagang boleh jadi juga mencerminkan krisis etika dalam skala yang lebih luas. Pada dasarnya perusahaan besar pun tak sedikit pula yang tidak jujur dalam membakar hutan, menyolong kayu secara illegal, memalsukan surat izin, dan sebagainya. Belum lagi kalau kita berbicara tentang perilaku sebagian politisi.Â
Tapi kita fokus saja ke kasus di Padang. Paling tidak ada dua hal dalam etika bisnis yang dilanggar oleh terduga pelaku.Â
Pertama, tentang ketidakjujuran terkait dengan bahan daging yang dipakai, sehingga diduga ada unsur kesengajaan agar masyarakat sekitar yang mayoritas muslim, mau membeli.
Sebagai daerah mayoritas muslim, maka asumsinya semua makanan yang dijual adalah halal, kecuali dinyatakan lain. Persis seperti kalau berada di daerah yang muslimnya minoritas, maka justru warung yang tidak mencantumkan tulisan "halal" akan membuat calon pembeli muslim ragu-ragu.
Tidak masalah sebetulnya bila pedagang mencantumkan tulisan bahwa sate tersebut mengandung babi, meskipun sebagian masyarakat mungkin tidak nyaman.