Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nasib Seorang Pemulung asal Kolombia di Bogor

25 Januari 2019   20:56 Diperbarui: 27 Januari 2019   07:18 2192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemulung asal Kolombia (dok. radarbogor.id)

Kita sudah sering membaca atau mendengar berita tentang warga negara Indonesia yang terlantar di negara asing, biasanya yang berstatus Tenaga Kerja Wanita (TKW). Berita seperti itu, lazimnya segera memancing berbagai reaksi dari masyarakat.

Ada yang menyalahkan sang TKW, ada yang menyalahkan agen yang mengirim dengan semua mata rantainya yang menjemput bola sampai desa tempat TKW berasal. 

Tak sedikit pula yang menyalahkan pemerintah, yang dianggap kurang peduli terhadap nasib warga negaranya sendiri yang notabene adalah pejuang devisa melalui dana yang dikirimkan para TKW pada keluarganya di kampung halaman.

Tapi amat jarang yang menyalahkan pemerintah asing tempat sang TKW mengais rezeki, karena menyadari bahwa sistem hukum di masing-masing negara bisa berbeda, dan setiap negara gampang berdalih bahwa mereka hanya menegakkan aturan yang harus dipatuhi.

Nah, ternyata di negara kita pun ditemui pula kisah orang asing yang terlantar. Ini bukan pengungsi dari Myanmar atau Afganistan, tapi ada wanita asal Kolombia, sebuah negara di kawasan Amerika Selatan, yang ditemukan jadi pemulung di Bogor.

Kisah pemulung asing itu pertama kali saya ketahui dari siaran berita salah satu stasiun televisi dan kemudian terkonfirmasi saat saya lacak dari media daring. Radarbogor.id (22/1) cukup panjang menyajikan kisahnya.

Nama aslinya Martha Eugenia Rojas sesuai dokumen di Imigrasi. Tapi namanya sejak menikah dengan seorang lelaki WNI adalah Aisyah Anisa, setelah ia memutuskan menjadi mualaf.

Itu terjadi sekitar 21 tahun lalu setelah berkenalan dengan pria tambatan hatinya saat berlayar di sebuah kapal pesiar dari Amerika. Sejak menikah Anisa tinggal bersama suaminya di Bandung.

Anisa awalnya merasa berbahagia karena cepat mendapat momongan, seorang putri cantik perpaduan Sunda - Kolombia, yang diberi nama Raisah. 

Sayangnya sang suami kemudian menikah lagi dengan pembantunya sendiri. Anisa tidak terima hal ini dan memilih hengkang dari Bandung meskipun hidup terlunta-lunta.

Maka petualangan pahit getir di negeri orang yang dialami wanita yang kini masih berstatus WNA meskipun sudah fasih berbahasa Indonesia inipun dimulai.

Anisa pernah merasakan mendekam di balik jeruji Lembaga Pemasyarakatan Paledang selama 3 bulan. Ia pun pernah hidup di sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Jakarta selama 5 bulan.

Saya melakukan apa saja agar bisa makan, yang penting halal, kata wanita yang sekarang berusia 50 tahun ini. Setelah sering berpindah-pindah di sekitar Jakarta dan Bogor, hidup di kereta atau di jalanan, sejak 12 tahun terakhir ia menetap di Bogor.

Sekarang Anisa tinggal di sebuah rumah kontrakan berukuran kecil beralamat di Kampung Curug Mekar, RT 02/04, Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor Barat.

Di rumah tersebut Anisa dengan penuh kasih sayang merawat anak semata wayangnya yang sekarang berusia 20 tahun dengan kondisi lumpuh.

Anisa bisa mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil memulung untuk membayar kontrakan rumah, di samping untuk biaya makan sehari-hari.

Gerobak sampah yang sudah jadi miliknya sendiri menjadi modal Anisa mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah. Agama Islam tidak melarang saya jadi pemulung, tapi melarang jadi pengemis, ujar Anisa.

Itulah potret kehidupan seorang ibu yang secara strata sosial berada di lapisan bawah, tapi banyak hikmah yang dapat dipetik dari kegigihannya mempertahankan kehidupannya beserta anak tercinta yang menderita sakit.

Menjadi pertanyaan, upaya hukum apa yang bisa dilakukannya dan bantuan apa yang berhak diterima Anisa yang nota bene masih WNA itu, dari pemerintah. 

Tidak didapat pula informasi, apakah Anisa sudah mencoba berjuang melalui Kedutaan Besar Kolombia atau kantor perwakilannya di Jakarta.

Tapi bukankah, atas nama kemanusiaan, Anisa layak menerima bantuan dari mereka yang berpunya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun