Nama lengkapnya Eva Susanti Hanafi Bande, tapi biasa disingkat Eva Bande. Tokoh pejuang hak asasi manusia (HAM) itu, khususnya yang berkaitan dengan hak agraria seperti mempertahankan tanah yang digarap para petani dari ekspansi industri, baru saja menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award (YTHA) tahun 2018.
Acara penganugerahannya telah dilakukan di Gedung Perpustakaan Nasional RI, Jakarta Pusat pada Senin, 21 Januari 2019 yang lalu. YTHA sendiri mengambil nama dari seorang pengacara Indonesia keturunan Tionghoa yang sangat intens memperjuangkan penegakan keadilan dan HAM di anah air.
Sekilas tentang Yap Thiam Hien , ia lahir di Banda Aceh tahun 1913 dan meninggal di Brussel, Belgia, tahun 1989. Sejak tahun 1992, namanya diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan HAM di Indonesia.
Sejumlah nama dari kalangan masyarakat kelas bawah namun gigih berjuang dan menjadi sasaran untuk dilenyapkan oleh oknum yang terganggu oleh perjuangannya, pernah menerima YTHA, seperti Marsinah (penerima YTHA 1993) dan Widji Thukul (penerima YTHA 2002).
Maka tepat rasanya bila Eva Bande terpilih mendapat penghargaan pada tahun 2018. Meskipun nasibnya tidak sampai demikian tragis seperti Marsinah yang dibunuh dan Widji Thukul yang hilang tak tahu rimbanya, tapi pengalamannya sampai dihukum penjara, jelas menunjukkan kegigihannya dan segala ancaman tidak menyurutkan langkahnya.
Eva Bande lahir di Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah, tanggal 12 Agustus 1978, suatu daerah yang amat jauh dari Ibu Kota Jakarta. Ia menamatkan sekolah menengah di kota kelahirannya dan berlanjut menuntaskan kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah.
Eva lebih memilih berjuang di kampung halaman sendiri yang jauh dari sorot kamera televisi atau liputan pers. Jadi, sewaktu Eva mendirikan Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah, niatnya betul-betul murni untuk membantu petani mempertahankan tanah garapannya, khususnya petani di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Toili Barat, Kabupaten Banggai.
Para petani di desa tersebut menurut Eva mendapat perlakuan semena-mena dari sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sebagai seorang aktivis yang sering terlibat dalam gerakan mahasiswa sewaktu kuliah, Eva langsung bergerak mengadvokasi para petani untuk melakukan protes.
Sayangnya protes dalam aksi unjuk rasa yang awalnya berlangsung damai, berakhir ricuh. Sejumlah aset milik perusahaan perkebunan kelapa sawit dibakar atau dirusak pengunjuk rasa yang tak mampu menahan amarahnya karena aksinya tidak mendapat tanggapan dari perusahaan yang menjadi sasaran.
Kericuhan tersebutlah yang berujung dengan penangkapan Eva Bande tanggal 15 Mei 2010 dan dituduh sebagai penghasut, seperti ditulis oleh tempo.co (22/12/2014).Â
Setelah beberapa kali persidangan, Eva divonis hukuman penjara selama 4 tahun, lebih lama dari tuntutan jaksa selama 3 tahun 6 bulan. Upaya banding yang dilakukan Eva ditolak oleh pengadilan.