Setelah selesai berpuasa, pada bulan Syawal seperti sekarang ini sering juga disebut "musim kawin", maksudnya banyak pasangan yang selama ini memadu kasih meningkatkan hubungan mereka memasuki gerbang pernikahan.
Tak heran kalau ada yang menerima beberapa undangan pernikahan di bulan ini, terkadang malah bertumpuk di hari dan jam yang sama. Setiap menghadiri resepsi pernikahan identik dengan makan enak, salam-salaman baik dengan pengantin maupun dengan rekan-rekan sesama undangan dan ini dia yang jadi topik tulisan ini, juga memberikan amplop yang berisikan beberapa lembar uang.
Bagi yang memberikan amplop yang isinya tipis, ada semacam ketakutan kalau dinilai kurang menghargai yang punya hajat. Apalagi kalau si pemberi dikenal punya kemampuan ekonomi yang baik, yang seharusnya bisa memberikan lebih banyak.
Inilah masalahnya, tak ada standar dalam isi amplop, sehingga masing-masing tamu mengira-ngira saja berapa pantasnya, tapi tentu juga sesuai dengan kemampuan kantong dan yang terpenting sebetulnya adalah keikhlasan.
Namun, ada suatu acara unik terkait pernikahan dalam adat Padang Tarok, dimana seluruh undangan duduk lesehan bersama di rumah yang punya hajat. Kemudian ada pembawa acara yang mewakili tuan rumah yang sebelum mempersilakan tamu-tamunya makan dan terlebih dahulu memimpin acara pengumpulan sumbangan.
Cara pengumpulan dana tersebut disebut sebagai bacaro. Biasanya sudah ada standar tidak tertulis bahwa masing-masing orang memberikan sekitar Rp 50.000 sampai 100.000. Agar tidak merusak standar tersebut, biasanya mereka yang ingin menyumbang lebih banyak akan menyebut seolah-olah sumbangan tersebut atas nama beberapa orang dengan menyertakan saudara atau anaknya dirantau yang tidak hadir.
Ya, standarnya tidak terlalu tinggi, karena bacaro tersebut hanya terjadi di desa, jadi tentu menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi warganya yang kebanyakan adalah petani. Nama desanya adalah Padang Tarok yang terletak antara kota Bukittinggi dan Payakumbuh, Sumatera Barat.Â
Daftar sumbangan tersebut akan disimpan baik-baik untuk jadi acuan kalau nanti gantian ada hajatan di rumah salah seorang penyumbang. Dalam hal ini berapa sumbangan yang akan diberikan setimpal dengan sumbangan yang dulu disumbangkan orang tersebut. Makanya bacaro ini lebih mirip arisan, tapi khusus untuk acara perkawinan.
Hasil uang bacaro akan digunakan lagi buat belanja bahan makanan untuk resepsi kedua buat undangan umum, karena di Padang Tarok pestanya berlangsung dua kali.Â
Pertama, disebut alek kampuang atau pesta kampung yang pakai bacaro itu tadi dan para tamu duduk bersama secara lesehan. Ini biasanya berlangsung di hari Jumat setelah salat Jumat, dan yang diundang hanya warga desa Padang Tarok saja. Itupun undangan diberitahu dari mulut ke mulut, bukan pakai surat undangan.
Kemudian ada lagi pesta yang bersifat umum di hari Minggu. Para undangan yang datang adalah yang telah dilayangkan surat undangan, seperti rekan-rekan kedua pengantin atau rekan-rekan dari orangtua pengantin pria dan wanita yang berdomisili di luar desa. Tapi orang desa yang berprofesi sebagai orang kantoran yang tak ikut bacaro, bisa hadir di pesta umum ini.
Dalam pesta umum, tamu tak lagi dicatat sumbangannya, tapi mengisi buku tamu dan memasukkan amplop di kotak seperti lazimnya pesta di kota-kota. Dulu, para tamu membawa kado yang ditumpuk dekat meja penerima tamu, sekarang lebih praktis dengan memasukkan amplop saja.Â
Itulah sekelumit keunikan bacaro yang sebetulnya merupakan salah satu penerapan prinsip gotong royong.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H