Sebetulnya saya tidak berniat ikut-ikutan menulis tentang kasus yang menyeret artis Vanesa Angel (VA). Tapi karena tiba-tiba ada foto yang nyelonong di media sosial  yang memperlihatkan beberapa orang yang lagi demo dengan mengangkat poster dengan tulisan "Turunkan Tarif Vanesa Angel", saya jadi tergelitik juga.
Soalnya saya jadi teringat dengan pembicaraan saya dengan beberapa teman yang satu ruangan kerja dengan saya. Kami semua bertujuh, dua orang pria termasuk saya, dan sisanya ibu-ibu. Semuanya sudah berusia setengah baya.
Awalnya yang dikemukakan bukan pendapat dari masing-masing teman, tapi masing-masing teman mengutip pendapat temannya lagi. Artinya kami ngerumpi, mengutip pendapat orang lain yang tidak ada di hadapan kami, sehingga apakah  kutipannya sudah akurat atau tidak, tidak ada yang tahu.
Nah, konon teman dari teman saya mengatakan sangat tertarik memakai jasa VA, namun kalau harganya bisa dikorting 50%, dari Rp 80 juta menjadi Rp 40 juta. Ini bukan soal mahal murah lagi, tapi tentang tebal tipisnya kantong seseorang. Â Bagi temannya teman saya itu, Rp 40 juta harga yang layak, cocok di kantong.
Lalu saya nyelutuk, itulah tanda  bahwa standar moral kita lemah. Saya sengaja memakai kata "kita" karena dari talkshow di televisi praktik seperti itu sebetulnya hal yang biasa, hanya tidak terungkap ke permukaan.Â
Nah, yang sekarang jadi menarik, bukan karena perbuatan salahnya, tapi karena tarifnya dinilai mahal. Makanya, wajar juga muncul demo seperti yang singgung di awal tulisan ini, terlepas dari apakah demo itu hanya berupa foto editan untuk lucu-lucuan saja.
Dan hal itu juga terbukti dari berbagai kasus perselingkuhan orang kantoran, yang diceritakan teman-teman saya itu. Ada ibu pejabat bank yang "memelihara" brondong pegawai biasa tanpa jabatan di bank yang dipimpin si ibu. Gampang diduga, si brondong jadi ngelunjak, bekerja seenaknya dan atasannya tidak berani menegur karena takut didamprat si ibu yang jabatannya lebih tinggi dibanding atasan si brondong.
Ada pula, dan ini banyak terjadi, dokumen-dokumen yang butuh persetujuan seorang pejabat dititip ke seorang karyawati yang akan menghadap bosnya, sekaligus kekasihnya. Kisah-kisah beginian terlalu panjang bila ditulis satu persatu.
Teman-teman saya setuju dengan pendapat saya yang mengatakan standar moral kita lemah, karena dalam kasus VA akhirnya yang jadi tersangka bukan yang melakukan perbuatan asusila, melainkan mucikarinya. Alasannya karena kalau perbuatan suka sama suka, tak ada pihak yang dirugikan melapor, tak bisa dijerat secara hukum yang berlaku di negara kita.
Maka kasus VA tak lama lagi segera dilupakan publik, lalu semuanya kembali normal, dengan standar moral yang rendah itu tadi. Karir VA pun juga diduga tidak bakal tercoreng, bila melihat preseden dari artis-artis sebelumnya yang bahkan pernah di penjara, karirnya kembali bersinar.Â
Contohnya, seorang vokalis band papan atas negeri ini yang dulu punya affair dengan aktris papan atas, sampai sekarang mereka masih berkibar. Masyarakat ternyata masih setia mendengar lagu-lagunya, menonton konsernya, dan menikmati aktingnya di layar kaca atau layar lebar.Â