Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Satu Keluarga yang Selamat dari Bencana Tsunami Selat Sunda

3 Januari 2019   13:55 Diperbarui: 3 Januari 2019   16:12 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu saya masuk kantor setelah libur sejak tanggal 20 Desember 2018, saya dan beberapa teman merasa terkejut, ternyata ada salah seorang dari kami yang berjumlah 7 orang dan bekerja di satu ruangan yang sama, yang mengalami langsung bencana tsunami Selat Sunda sekitar dua minggu yang lalu.

Alhamdulillah, teman tersebut, sebut saja namanya Tini, berhasil menyelamatkan diri. Buktinya sekarang ia sudah aktif ngantor dan secara fisik terlihat sehat. 

Bahkan ia mampu dengan lancar menceritakan pengalamannya yang mencekam, meskipun bercampur dengan ekspresi ketakutan. Tentu rasa takut itu suatu hal yang wajar mengingat dahsyatnya bencana yang belum begitu lama terjadi di depan matanya.

Dari cerita Tini itulah, saya coba menuangkan kembali dalam tulisan ini, tentu dengan gaya bahasa saya sendiri. Perlu diketahui, nama Tini sendiri adalah nama samaran yang saya sengaja karena mempertimbangkan perasaan sang teman yang mungkin masih terguncang dengan pengalaman tersebut. 

Tulisan ini semata-mata mengandalkan ingatan saya setelah mendengar cerita Tini, karena saya tidak merekamnya. Jadi, sangat mungkin tidak  persis sama dengan kisah nyata yang dialami Tini tersebut.

Toh tujuan saya bukan soal akurasi kisahnya, tapi lebih kepada berbagi pengalaman serta menemukan hikmah yang barangkali dapat dipetik oleh para pembaca Kompasiana, karena yang namanya bencana dapat menimpa siapa saja dan kapan saja.

Sabtu siang 22 Desember 2018, Tini dan rombongannya yang terdiri dari suami, 3 orang anak (1  diantaranya masih berusia 5 tahun), 2 orang keponakan, dan juga ibu kandung Tini yang sudah berumur 71 tahun, lagi bergembira. Mereka sedang dalam perjalanan untuk menuju sebuah vila yang terbilang megah di Anyer. Di vila tersebutlah mereka akan  bermain dan menginap. 

Tini merasa beruntung dibolehkan pemilik vila, yang masih anggota keluarga dari seorang public figure karena wajahnya sering nongol di tivi, untuk memakai vilanya. Kebetulan Tini kenal baik dengan sang pemilik.

Rombongan Tini berangkat ke Anyer menggunakan mobil rental  dari perusahaan yang sudah punya nama baik karena juga punya armada taksi yang paling terkenal di Jakarta.

Ada diskusi panjang di intra keluarga Tini, sebelum sepakat menyewa, bukan membawa mobil sendiri. Mobil sewaan pun juga dengan perjanjian mengantar ke lokasi, lalu menjemput lagi rencananya hari Senin siang, setelah 2 malam di Anyer. Padahal juga ada pilihan lain, yakni mobil sewaan tersebut ikut stand by selama di vila.

Ringkas cerita, perjalanan mereka terbilang lancar, hanya butuh sekitar 3 jam dari rumah Tini di Jakarta Selatan, mereka pun sampai di tujuan. Ada yang mengusik pikiran Tini, saat pemilihan kamar, ibunya bersikukuh ingin di kamar lantai atas, padahal kan capek naik tangga bagi orang lansia.

Adapun anak-anak dan kepoanakannya tak begitu peduli dengan pemilihan kamar, langsung bermain-main di pantai yang tak begitu jauh setelah menyeberangi jalan raya.

Selepas salat magrib, mereka berkumpul di vila untuk makan malam dengan makanan yang telah dibawa dari Jakarta. Mungkin karena kecapean, tak lama setelah makan malam, sekitar jam 20.30 masing-masing sudah masuk kamar. 

Tini beserta suami dan anak bungsunya juga mulai merebahkan diri setelah terlebih dahulu memeriksa pesan masuk di gadget-nya. Namun ketika Tini masih belum tertidur nyenyak, tiba-tiba terdengar suara gemuruh, dan semakin kaget ketika air masuk ke dalam vila.

Belum sadar kalau itu merupakan bencana tsunami, Tini membangunkan suami dan anaknya, lalu naik tangga ke lantai atas. Ibu, dua anak remajanya dan dua keponakannya yang sudah tertidur di dua kamar di atas, dibangunkan oleh Tini. Lalu mereka berjaga-jaga .

Ada sekitar setengah jam mereka duduk terpaku di lantai atas, kemudian tersentak saat mendengar teriakan dari luar vila memanggil penghuni agar menyelamatkan diri ke arah bukit di belakang vila. Maka mereka pun tergopoh-gopoh turun ke bawah, berjalan membelah air yang setinggi lutut orang dewasa. 

Tini sendiri bertelanjang kaki dan tidak menghiraukan rasa sakitnya ketika sudah melewati semak-semak menuju tempat yang lebih tinggi di kegelapan malam. Begitu ketemu ada seseorang di sebuah rumah kecil, Tini mencoba meminjam sandal jepit, yang tiba-tiba jadi benda amat berharga. 

Tapi satu-satunya sandal yang ada adalah yang dipakai orang itu. Untung saja ia berbaik hati memberikan sandal yang dipakainya, dan Tini merasa terharu sambil berdoa semoga Allah membalas kebaikan yang tak ternilai dari orang yak tak dikenalnya itu.

Berjalan menaiki bukit secara tergesa-gesa padahal kondisi gelap hanya mengandalkan sebuah senter dari penunjuk jalan dan cahaya dari telpon genggam, menjadi pengalaman Tini yang paling mendebarkan, tapi sekaligus paling disyukurinya, karena keluarganya masih utuh. Bahkan sang ibu ternyata mampu mendaki dengan dibimbing oleh kedua keponakan Tini. Sedangkan anak bungsunya bergantian dibimbing oleh Tini dan suami.

Sampai dini hari mereka bertahan ramai-ramai bersama penghuni vila lainnya dan juga warga setempat di beberapa dangau di atas bukit itu. Mungkin tidak tepat disebut bukit, tapi yang penting cukup aman dari kejaran air laut. Keluarga Tini yang orang kota dengan tingkat kesejahteraan yang lumayan karena dulu almarhum bapaknya seorang pejabat di sebuah bank, sungguh tak membayangkan akan mengalami  peristiwa seperti itu. 

Setelah ada informasi bahwa situasi sudah aman, saat subuh mereka  kembali ke vila untuk mengemasi barang-barangnya. Ketika itulah rasa syukurnya demikian memuncak karena sekarang terlihat jelas pemandangan mengerikan, yang tak perlu ditulis lagi, ya seperti terlihat di pemeberitaan televisi dan media lainnya. 

Tini bersyukur karena keluarganya semua utuh. Bersyukur pula bahwa mobil mereka yang ditinggal di Jakarta masih rezekinya, bukan termasuk yang terdampar dihantam tsunami. Bersyukur bahwa ibunya memilih kamar di lantai atas vila, sehingga lebih aman ketimbang di lantai bawah, saat ombak masuk vila. 

Akhirnya mereka memutuskan balik ke Jakarta hari itu juga, pagi Minggu 23 Desember 2018. Masalahnya tak ada mobil yang bersedia mengantar. Mobil sewaan yang kemaren mengantarnya, kalaupun bersedia mendadak menjemput, pasti butuh waktu lama untuk sampai di Anyer, mengingat ada berita beberapa jalan tidak bisa dilalui. 

Untung ada seorang warga yang berdomisili tak jauh dari vila, dan mobilnya selamat dari bencana, bersedia mengantar ke Jakarta, dan berani menembus beberapa titik yang sulit dilewati karena terdampak terjangan tsunami. Tentu dengan iming-iming bayaran yang jauh di atas tarif normal. 

Tapi sayangnya si sopir mengendarai mobil dengan ugal-ugalan. Ternyata belakangan sopirnya mengakui bahwa itu disengajanya untuk menghilangkan stres karena ada anggota keluarganya yang belum ketahuan nasibnya.

Butuh 9 jam bagi rombongan Tini untuk sampai di rumahnya di Jakarta karena bayaknya hambatan di jalan. Bagaimanapun juga Tini tak putus-putusnya memanjatkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, meskipun ia dan juga anggota keluarganya mengalami trauma bila melihat berita di televisi tentang bencana tsunami. 

Begitulah kisah teman saya, yang menjadi pelajaran amat berharga bagi kita semua. Salah satu hikmahnya, dalam pengambilan keputusan terhadap hal yang kelihatannya biasa-biasa saja, seperti mau bepergian ke mana, kapan, naik apa, sampai pada pemilihan kamar tidur, ternyata bisa mengubah sejarah hidup seseorang.

Maka bila suatu keputusan sudah diambil, lakukan sebaik-baiknya sambil berdoa mengharapkan yang terbaik, tapi sekaligus bersiap bila terjadi hal yang terburuk.

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun