Acara resepsi pernikahan bagi kebanyakan orang bukanlah perkara ringan. Banyak hal yang harus dipersiapkan, apalagi bila mengikuti gaya sekarang, ada sesi foto pre wedding dan pembuatan beberapa stel pakaian pengantin.Â
Kemudian soal makanan di acara resepsi tak bisa sekadar makanan yang standar saja. Para tamu undangan lazimnya  disuguhi aneka makanan dan saat pulangnya diberi cenderamata dan kesempatan berfoto di photo booth.
Panitia yang jumlahnya puluhan orang harus diberi pakaian seragam. Belum lagi sewa ruangan tempat resepsi, dekorasi pelaminan, honor bagi pembawa acara dan pertunjukan musik atau kesenian lainnya.
Maka bila kedua pengantin berasal dari keluarga yang punya keterbatasan secara finansial, di lain pihak acara resepsi dianggap pertaruhan reputasi sosial, ada yang akhirnya terjerumus berutang dari sana-sini.
Dulu, saat nilai gotong royong masih diterapkan oleh masyarakat, acara pernikahan tidaklah memberatkan, karena di samping dibantu oleh famili dan kerabat, juga para tetangga bahu membahu memberi bantuan berupa uang, barang, makanan, dan juga tenaga.Â
Sekarang cara seperti itu praktis jarang terlihat, kecuali di pedesaan. Namun, baru-baru ini, saya melihat suatu hal yang positif, kebersamaan warga di Tanjung Piayu, sebuah komplek perumahan sederhana yang banyak dihuni para pekerja pabrik di Batam, Kepulauan Riau.
Padahal sebagai kota industri, Batam sangat heterogen. Semua suku, semua agama, ada di sana, termasuk di Tanjung Piayu. Justru karena heterogen itu tadi, menimbulkan rasa saling respek, tidak ada kelompok yang merasa dominan.
Nah, ceritanya ada sepasang pengantin, mempelai wanita berdarah Minang dan mempelai pria berdarah Palembang, namun dua-duanya lahir dan besar di Batam, melaksanakan acara resepsi pernikahan mereka, Sabtu, 29 Desember 2018.
Soal tempat acara, fasilitas umum (fasum) yang ada di RW setempat, yang biasanya menjadi lapangan terbuka tempat warga berkumpul untuk bersenam atau olah raga lainnya, dipasangi tenda yang lumayan luas.Â
Pengadaan dan pemasangan tenda, pengaturan parkir para undangan, dilakukan oleh para pemuda setempat. Sedangkan urusan memasak aneka makanan dikoordinir oleh ibu-ibu di RW tersebut, sama sekali tidak memakai jasa catering.Â
Sudah pasti pihak pengantin bersama orang tua masing-masing tetap perlu mengeluarkan uang yang lumayan. Apalagi seperti rata-rata warga setempat, keluarga pengantin berpenghasilan terbatas.
Maka dengan berbagai bantuan, buah dari kekompakan tersebut, membuat beban yang dipikul tuan rumah menjadi lebih ringan. Dan ini seperti arisan saja, karena yang punya hajat selalu bergantian, masing-masing akan kebagian giliran.
Menurut saya, cara yang saya lihat di Batam di atas adalah sebuah contoh yang baik, yang perlu tetap dipertahankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H