Terbetik berita dari harian Kompas (17/12/2018) tentang kebijakan dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk melakukan investasi langsung sebesar 20 persen dari dana yang dikelolanya. Investasi tersebut antara lain ditempatkan pada perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, katering dan penerbangan di Arab Saudi.
Tak ada yang salah dengan investasi langsung tersebut. Negara tetangga Malaysia dengan lembaga sejenis yang dinamakan Lembaga Tabung Haji (LTH) sudah jauh lebih dahulu melakukannya. Mereka punya beberapa perusahaan seperti TH Plantations Berhad, TH Hotel & Residence, TH Travel & Services, dan sebagainya.
Dengan investasi langsung, tentu diharapkan terjadinya pengembangan dana yang lebih cepat dari keuntungan investasi tersebut. Kalau hanya semata-mata ditempatkan sebagai simpanan di bank syariah, meskipun mendapat imbalan berupa bagi hasil, rate-nya dalam persentase tidaklah sebesar investasi langsung, dengan asumsi bisnis berlangsung secara normal, bukan pada saat terjadi gejolak ekonomi yang tidak terkendali.
Toh, keuntungan dari investasi tersebut akan digunakan kembali untuk kepentingan para jamaah haji yang sudah mempercayakan dananya dikelola oleh BPKH. Ujung-ujungnya pelayanan terhadap jamaah dan fasilitas yang dinikmatinya harus menjadi lebih baik. Bahkan, ukuran suksesnya BPKH adalah bila nantinya beban masyarakat untuk menjalankan ibadah haji semakin berkurang.
Hanya saja ada masalah klasik di negara kita bila sudah menyangkut hal-hal kayak begini, yakni masalah tata kelola atau bahasa kerennya governance. Tata kelola yang baik itu antara lain mencakup transparency, accountability, reliability, independency, dan fairness, atau sering disingkat dengan TARIF.
BPKH dipimpin oleh Anggito Abimanyu, ekonom UGM yang pernah menempati beberapa jabatan strategis di Kementerian Keuangan. Integritas Anggito boleh jadi tidak perlu diragukan, tapi dalam pelaksanaan investasi langsung, tentu banyak pihak yang terkait. Siapa yang bisa menjamin tak ada yang menerapkan prinsip aji mumpung untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Maka hal terpenting sebelum program itu dieksekusi, kebijakan yang akan menjadi pedoman pelaksanaan dalam segala hal yang berhubungan dengan investasi langsung harus didudukkan terlebih dahulu.Â
Kriteria sasaran investasi harus jelas, sehingga nantinya ada transparansi kenapa hotel A yang dipilih dan bukan hotel B. Kriteria ini harus ditetapkan terlebih dahulu, bukan setelah sasaran investasinya dipilih, lalu dibikin kriteria yang bisa mengakomodir sasaran tersebut.Â
Kemudian hasil investasi atau perkembangan lainnya dari investasi itu harus diumumkan secara terbuka, minimal tiga bulan sekali kepada masyarakat, mengingat demikian banyaknya jumlah yang mendaftar untuk melaksanakan ibadah haji. Bahkan di beberapa daerah sampai 36 tahun mendatang, sudah terisi antreannya (jawapos.com, 14/3/2018). Artinya, pemilik BPKH itu adalah masyarakat.
Ada baiknya BPKH mengirim stafnya untuk benchmarking ke bank-bank papan atas, untuk menyusun suatu prosedur tata kelola yang baik, Soalnya, saat ini industri yang paling ketat regulasinya adalah sektor perbankan, dan ada kewajiban semua bank untuk memenuhi aspek manajemen risiko dan kepatuhan terhadap semua ketentuan yang berlaku.
Bank, yang secara operasional sudah diatur demikian ketat dan diawasi oleh beberapa lembaga secara simultan seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, Badan Pemeriksa Keuangan, Kantor Akuntan Publik, dan sebagainya, masih saja ada yang kebobolan. Apalagi kalau misalnya BPKH tanpa didukung regulasi yang memadai, sudah melakukan investasi langsung. Â