Ridwan Kamil relatif belum lama menjadi orang nomor 1 di Provinsi Jawa Barat. Namun gebrakannya terhadap Bank Jawa Barat dan Banten (BJB) sebagai badan usaha milik daerah yang paling besar asetnya, terbilang cepat.
Bandingkan dengan Anies Baswedan yang butuh waktu sekitar 1 tahun untuk memutuskan mengganti pengurus (direksi dan komisaris) Bank DKI sebagai bank milik Pemprov DKI Jakarta.
Padahal di Bank DKI, gubernur betul-betul berkuasa penuh, dalam arti tidak ada pemegang saham lain selain pemda. Sedangkan BJB berstatus Tbk (terbuka). Artinya ada sebagian sahamnya dimiliki masyarakat karena sudah go public.Â
Lagi pula, ada saham pemda Banten sebagai provinsi yang sudah terpisah dari Jawa Barat, yang juga ikut menjadi pemilik BJB. Pemda yang dimaksud di sini bukan hanya Gubernur Jabar dan Gubernur Banten, tapi juga pemerintah kabupaten dan kota di bawahnya.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Ridwan memang kebelet untuk melengserkan Ahmad Irfan sebagai Direktur Utama BJB. Soalnya sampai sekarang pun siapa pengganti Ahmad Irfan belum lagi ditetapkan, hanya menunjuk salah satu direktur sebagai  plt. direktur utama.
Sebagai perusahaan publik, sebetulnya bila kinerja bank baik-baik saja, penggantian pengurus lazim dilakukan saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang biasanya berlangsung  bulan Maret atau April, setelah laporan tahunan tahun sebelumnya selesai disusun dan laporan keuangan selesai diaudit.
Tapi, tampaknya Ridwan memang tidak sabar lagi, maka pencopotan Ahmad Irfan ditempuh melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), yang dimungkinkan bagi perusahaan publik asal 43 hari sebelumnya telah dilaporkan ke  Bursa Efek Indonesia (BEI) dan 36 hari sebelumnya diumumkan di koran agar pemegang saham minoritas mengetahui.
Ridwan Kamil sendiri dilantik sebagai Gubernur pada 5 September lalu. Sedangkan RUPSLB dilaksanakan 11 Desember. Artinya akhir Oktober atau belum dua bulan sejak menduduki kursi gubernur, keputusan pencopotan telah diambil, tinggal ketuk palunya saja yang di-RUPSLB-kan.
Menyimak pemberitaan di beberapa media, tampaknya keinginan Ridwan lebih kurang sama dengan Anies. Bank BJB yang memiliki aset lebih dari Rp 100 triliun dan berkibar secara nasional, tidak hanya di Jabar dan Banten dinilai terlalu banyak bergerak di bidang consumer banking atau kredit konsumtif, sedangkan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) relatif sedikit.
Tentu tidak gampang mengubah haluan bisnis sebuah bank. BRI sebagai "raja" kredit UMKM butuh puluhan tahun untuk menumbuhkan budaya kerja yang klop dengan pelaku UMKM.
Tapi diharapkan pada RUPS tahun depan, BJB sudah menemukan nakhoda yang definitif yang dinilai mampu merealisasikan keinginan gubernur sebagai pemegang saham pengendali.
Bank BJB harus berhati-hati karena bila keputusan yang diambil tidak market friendly, akan berdampak pada harga sahamnya di bursa. Itulah konsekuensi menjadi perusahaan yang melantai di bursa.Â
Dari 26 bank milik daerah, baru BJB dan Bank Jatim yang sudah berstatus terbuka. Untunglah sejauh ini keputusan pencopotan Direktur Utama Bank BJB tidak membuat harga sahamnya anjlok.Â
Harga saham berkode BJBR (di BEI kode saham terdiri dari 4 huruf) ini stabil di kisaran Rp 2.000 sampai Rp 2.100 per lembar, sejak sebelum pencopotan dirutnya sampai sekarang. Bahkan pada penutupan bursa kemaren (18/12) harga BJBR naik jadi Rp 2.130.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H