Berita insiden penembakan terhadap 31 orang pekerja proyek pembangunan jalan Trans Papua, sungguh membuat kita miris. Tribunnews.com (4/12) menulis bahwa pembunuhan sadis tersebut dilakukan oleh  Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB) dan sasarannya adalah pekerja pembangunan proyek jembatan di Kali Yigi - Kali Aurak, Kabupaten Nduga, yang merupakan bagian dari proyek besar Trans Papua, Minggu 2 Desember lalu.
Lokasi proyek tersebut sangat terpencil, jauh dari kota kabupaten, sehingga menyulitkan bagi 31 pekerja PT Istaka Karya, sebuah perusahaan milik negara yang mendapat tugas membangun jembatan itu, untuk menyelamatkan diri. Sebagian karyawan yang ditembak tewas di tempat, tapi sebagian lagi terkapar dan berpura-pura mati.
Dari 11 pekerja yang masih hidup, saat mencoba melarikan diri, 5 orang tertangkap lagi dan digorok KKSB. 6 orang berhasil  kabur ke Distrik Mbua, 4 di antaranya diselamatkan oleh TNI dan dua orang lagi belum diketahui nasibnya (Tempo.co, 5/12).
Namun insiden tersebut tidak membuat pemerintah takut. Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa Proyek Trans Papua tetap berlanjut dan sesuai rencana akan selesai tahun 2019 mendatang. Proyek yang menghubungkan kota Sorong dan Merauke sejauh 4.329,55 km ini, tidak saja "raksasa" dilihat dari panjang jalannya, namun juga tingkat kesulitannya amat besar.
Detik.com (5/1/2018) menulis bahwa proyek tersebut sebetulnya sudah dimulai oleh Presiden Habibie, namun baru masif pada era Jokowi. Dulu bersifat sporadis, hanya di spot tertentu saja. Biayanya tentu sangat besar sebagai konsekuensi dari medan yang berat itu dan ongkos angkut bahan yang diperlukan yang amat mahal.
Kompas.com (4/11/2015) memberitakan bahwa selama tahun 2015 saja, untuk Trans Papua dianggarkan sebesar Rp 3,7 triliun, sedangkan untuk tahun 2016 dianggarkan Rp 3,8 triliun. Belum didapat data anggaran yang dihabiskan di tahun-tahun sebelumnya ataupun setelahnya. Tapi total anggaran yang dihabiskan secara akumulasi sepanjang masa pembangunan, tentu bisa menyentuh puluhan triliun rupiah.
Kalau dilihat dari jumlah uang yang dikeluarkan, tak berlebihan kalau Trans Papua diibaratkan sebagai pertaruhan yang besar. Soalnya, kalau hitung-hitungan dengan memakai parameter yang dipakai oleh bank dalam menilai apakah suatu proyek layak atau tidak untuk dibiayai, boleh jadi Trans Papua tidak layak. Ini bukan proyek seperti jalan tol yang nantinya terhadap kendaraan yang lewat akan dikenakan tarif tertentu. Makanya kalau proyek jalan tol, bank bersenang hati membiayainya, karena layak secara ekonomis.
Tapi pemerintah telah berketetapan hati, bahwa untuk Papua, harus mendapat prioritas. Pemerintah tampaknya tak  mau larut dalam debat kusir, mana yang dulu, telor atau ayam. Kalau pemerintah berharap harus ada penemuan baru, katakanlah semacam deposit tambang seperti Freeport, atau memberikan konsesi perkebunan kelapa sawit, agar pihak swasta besar mau terjun membangun infrastruktur, maka tidak bakal terwujud dengan cepat.Â
Mending pemerintah memulai pembangunan terlebih dahulu. Nanti bila telah tersedia fasilitas jalan raya, tentu diharapkan muncul pusat pertumbuhan baru di berbagai tempat di Papua. Nah, di sinilah letak pertaruhannya, misalkan proyek Trans Papua berhasil rampung, namun kendaraan yang melewati amat jarang, dan sentra perekonomian baru juga belum ada, bisa jadi akan muncul pendapat para pengamat yang mengatakan proyek tersebut mubazir.
Maka, bila antar kota-kota di Papua telah tersambung lewat jalan darat, tentu masih ada PR berikutnya yang menantang kreativitas pemerintah daerah setempat dan para pelaku bisnis, bagaimana menciptakan usaha baru di Papua yang bisa menyerap banyak pekerja lokal, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Bagaimanapun juga pemerintah tidak boleh setengah hati membangun Papua. Itulah prasyarat yang mau tak mau harus dilakukan agar kemajuan Papua sejajar dengan  provinsi lain. O ya, Papua yang dimaksudkan di sini tentu saja mencakup dua provinsi, Papua dan provinsi hasil pemekaran, Papua Barat.   Â
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H