Bagi mereka yang bekerja di bagian pemasaran sebuah perusahaan, masa akhir tahun seperti sekarang ini, merupakan masa-masa yang menegangkan, terutama bagi yang masih belum mencapai target penjualan yang ditetapkan oleh manajemen perusahaan. Masalahnya, karir seseorang di perusahaan, termasuk jumlah bonus yang akan diraihnya, sangat tergantung dari pencapaian target itu tadi.
Maka kalau banyak orang yang merasa terganggu ditelepon tanpa perjanjian terlebih dahulu oleh staf marketing sebuah bank, asuransi, penyedia jasa transaksi online, atau jenis perusahaan lain yang sangat bergantung pada pelanggan yang bersifat massal, mohon dimaklumi. Maafkan, mereka memang lagi mengejar target, dan kalau anda tidak tertarik, katakan saja sejujurnya.
Masalahnya, karena saking seringnya menerima telepon sejenis itu, banyak orang yang betul-betul muak, dan tak mau lagi mengangkat telepon dari siapapun yang belum dikenalnya. Akibatnya si petugas marketing kehilangan akal, dan sering pula kehilangan kreativitas.
Akhirnya, mereka yang putus asa tersebut terjebak dalam praktik "kanibalisme", dengan "berburu di kebon binatang". Contohnya yang dialami oleh seseorang, sebut saja namanya Andi. Andi terdaftar sebagai pelanggan dari sebuah perusahaan sekuritas, karena mempunyai saham yang dulu didapatnya dari program employee stock ownership program (ESOP) saat perusahan tempatnya bekerja memutuskan menjual sebagian sahamnya ke publik, atau lazim disebut go public.
Karena bukan pemain aktif di pasar saham, tentu Andi jarang bertransaksi, meski sebetulnya ia bisa membeli dan menjual saham lain, untuk meraih untung dari kelebihan harga jual di atas harga belinya. Toh, dengan membiarkan sahamnya "tidur" seperti itu, Andi setiap tahun tetap menerima keuntungan berupa dividen atau bagian laba perusahaan yang dibagikan ke semua pemegang saham, yang besar kecilnya tentu sebanding dengan porsi kepemilikan sahamnya.Â
Jadi meskipun Andi hanya punya 0,00 sekian persen dari keseluruhan saham perusahaan tersebut, jumlah dividen yang diterima Andi setiap tahunnya lumayan besar, bisa menyamai beberapa bulan gaji yang diterimanya saat ini.
Nah, suatu kali Andi dihubungi oleh seseorang yang mengaku dari perusahaan sekuritas tempat Andi terdaftar. Andi kaget karena selama ini urusannya dengan perusahaan sekuritas tersebut selalu melalui seorang contact person (CP) yang menangani akun milik Andi. Andi dibujuk untuk menjual sebagian sahamnya untuk dibelikan ke obligasi.
Masih setengah bingung, Andi menutup pembicaraan dengan mengatakan akan mempertimbangkannya. Lalu Andi buru-buru menghubungi CP-nya, bertanya apakah akun dia sudah dipindahkan pengelolaannya ke orang baru. Si CP tak kalah kagetnya dan menegaskan bahwa Andi masih tetap di bawah kelolaannya.
Kemudian si CP memberi tahu Andi agar mengabaikan rayuan temannya untuk membeli obligasi seraya meminta maaf. CP juga berjanji akan melapor ke atasannya, bahwa ternyata di perusahaannya terjadi praktik "kanibalisme", di mana seorang pelanggan saham dibujuk pindah jadi pelanggan obligasi.Â
Akibatnya kinerja staf bagian saham akan tergerus, dan credit point diberikan pada bagian obligasi. Padahal, bagi perusahaan sekuritas itu secara keseluruhan tidak menambah apa-apa, hanya berpindah dari kantong kiri ke kantong kanan, namun uang tidak bertambah.Â
Harusnya staf bagian obligasi mencari pelanggan baru, bukan berburu dari database pelanggan yang sudah ada. Pelanggan yang dikontak juga tidak nyaman karena merasa datanya sudah bocor meskipun hanya di internal perusahaan sekuritas. Bayangkan kalau datanya bocor ke luar perusahaan, tentu semakin tidak nyaman lagi.