Musibah jatuhnya pesawat Lion Air di perairan Karawang, menarik untuk disimak dari sisi komunikasi dengan para keluarga korban. Komunikasi yang baik, berlangsung secara timbal balik, dan dilakukan dengan tulus, tanpa ada yang disembunyikan, diyakini akan membuat keluarga korban lebih tenang.
Dalam hal ini cara Basarnas pantas diapresiasi.Kepala Basarnas Marsekal Madya M Syaugi yang menangis terisak saat berhadapan dengan keluarga korban Lion Air, Senin (5/11), suatu bukti betapa Basarnas bisa merasakan sepenuhnya kepedihan hati keluarga korban.
Syaugi tak kuasa menahan tangis saat menjawab pertanyaan tentang kepastian soal batas waktu pencarian korban. "Kami bukan manusia super, tapi kami akan berusaha sekuat tenaga, dengan apa yang kami miliki, kami yakin mampu mengevakuasi seluruh korban", ucap Syaugi dengan terbata-bata, seperti yang terlihat dari tayangan beberapa stasiun televisi.
Memang, keluarga korban terlihat puas dengan kinerja Basarnas, tapi tidak begitu terhadap manajemen Lion Air. Bahkan seorang keluarga korban dengan tegas menyatakan kekecewaannya.
"Mohon maaf, Pak Rusdi Kirana (pemilik Lion Air) saya anggap gagal", itulah tudingan yang disambut riuh oleh semua keluarga korban dalam pertemuan di Hotel Ibis, Cawang, Jakarta (tribunnews.com, 5/11).
Rusdi Kirana yang baru muncul di depan keluarga korban seminggu setelah kecelakaan, diminta berdiri, karena keluarga korban baru pertama kali melihatnya. Rusdi pun berdiri dengan wajah tertunduk diam sambil menangkupkan tangan layaknya tanda permintaan maaf.
Bila kita simak berita di media masa, terlihat komunikasi yang dilakukan manajemen Lion Air sangat minim. Bisa jadi tujuannya baik, agar tidak mengganggu jalannya proses evakuasi oleh Basarnas serta penyelidikan oleh instansi yang berwenang.Â
Tapi bagaimanapun juga, selayaknya manajemen puncak Lion Air selalu berada di tengah keluarga korban selama proses pencarian. Komentar yang menunjukkan simpati yang tulus serta pernyataan akan bertanggung jawab penuh, perlu diungkapkan dengan jelas. Merasakan apa yang dirasakan keluarga korban, itulah yang menjadi kunci.
Nah, hal itu sebetulnya telah dilaksanakan secara baik oleh manajemen Air Asia saat sebuah pesawatnya jatuh di perairan Pangkalan Bun, Kalimantan, akhir 2014 lalu. Tony Fernandes, pemilik Air Asia, mampu menunjukkan rasa tanggung jawab dan simpatinya, dengan teknik komunikasi yang baik dan memanfaatkan semua media.
Tony langsung terbang ke Surabaya, karena pesawat tersebut adalah rute Surabaya-Singapura, dan korban kebanyakan adalah warga Surabaya dan sekitarnya. Ia sering menyampaikan perkembangan informasi melalui akun twitternya.
Tidak itu saja, Tony menyurati keluarga korban satu persatu secara personal yang ditulis dalam bahasa yang digunakan korban, dengan kalimat yang menyentuh. Tony mampu bersikap autentik dan kredibel, serta tahu bahwa prioritas utama adalah bagaimana melewati hari-hari yang berat bersama keluarga korban.Â