Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gara-gara Pelemahan Rupiah, PLN Rugi Rp 18 Triliun

5 November 2018   14:41 Diperbarui: 5 November 2018   17:08 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemberitaan terhadap kerugian yang diderita Perusahaan Listrik Negara (PLN) karena melemahnya nilai rupiah, cukup ramai beberapa hari yang lalu. Media daring CNN Indonesia (30/10) misalnya, menulis bahwa hingga kuartal ketiga tahun ini, PLN mencatatkan rugi bersih mencapai Rp 18,46 triliun. Padahal pada kuartal ketiga tahun 2017, PLN masih membukukan laba sebesar Rp 3,06 triliun.

Data tersebut diambil berdasarkan laporan keuangan PLN yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Namun, kawatir berita tersebut menimbulkan salah persepsi di mata publik, Direktur Utama PLN, Sofyan Basir, dan juga Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, memberikan penjelasan yang lebih mendalam.

Seperti yang diberitakan detik.com (31/10), Sofyan Basir mengatakan bahwa PLN tidak panik, karena kerugian besar tersebut hanya semata-mata akibat selisih kurs. Hanya rugi pembukuan, bukan rugi riil, tambah Sofyan.

Hal senada juga dinyatakan oleh Rini Soemarno, sebagaimana yang juga diberitakan detik.com di atas. Menurut Rini, urusan PLN itu karena ada rupiah yang melemah, sehingga ada yang dikatakan unrealized loss, kerugian yang belum terealisasi, namun tercatat dalam pembukuan.

Nah, sedikit sharing tentang metode pencatatan dalam standar akuntansi yang berlaku umum, sebuah perusahaan di Indonesia yang punya utang dalam valuta asing, katakanlah dalam mata uang dolar AS, bila kemudian rupiah melemah, maka dalam pembukuan akan dicatat sebagai unrealized loss.

Anggap saja di tahun lalu, saat satu dolar AS dihargai Rp 13.500. Bila sebuah perusahaan mengambil pinjaman dari bank asing 1 juta dolar AS, maka waktu penyusunan laporan keuangan, pinjaman tersebut dicantumkan senilai rupiah saat itu, yakni Rp 13,5 miliar. 

Kemudian di tahun ini, karena pinjaman tersebut masih belum dicicil dan jatuh temponya katakanlah masih 5 tahun lagi, tentu nilai pinjaman masih tetap 1 juta dolar AS. Hanya saja karena laporan keuangan harus disusun dalam satuan nilai rupiah, maka bila kursnya menjadi Rp 15.000 untuk setiap 1 dolar AS, alhasil nilai utang membengkak jadi Rp 15 miliar. 

Tapi perusahaan belum mengeluarkan kas sama sekali untuk pembayar utang tersebut, karena belum jatuh tempo. Karena itulah kerugian sebesar Rp 1,5 miliar dari contoh di atas, yakni dari selisih kurs Rp 15 miliar dikurang Rp 13,5 miliar, dibukukan sebagai kerugian yang belum terelisasi.

Kembali ke kasus PLN, tampaknya hal seperti contoh di ataslah yang dialaminya saat ini. Itu yang dipaparkan oleh Sofyan Basir, bahwa dari utang PLN yang sudah dekat jatuh temponya, berhasil diperpanjang periode pinjamannya atau disebut juga reprofiling. 

"Jadi kita dapat US $ 1,5 miliar buat reprofiling sehingga cashflow kita sangat kuat dan likuiditas masih surplus US $ 500 juta. Jadi keuangan PLN tidak masalah, kewajiban akan kita selesaikan", ungkap Sofyan (detik.com 31/10).

Bisa jadi Sofyan Basir benar, kalau pelemahan rupiah tidak berlanjut, syukur-syukur bisa berbalik jadi menguat, meskipun untuk kembali ke kisaran di bawah Rp 14.000 per 1 dolar AS, rasanya tipis sekali kemungkinannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun