Keberadaan mal yang berkembang pesat di kota-kota besar di negara kita selama sekitar dua dekade terakhir ini, telah mengubah gaya hidup kaum urban. Ruang publik yang tadinya berada di pasar tradisional atau taman kota, beralih ke mal.
Bahkan kalau dulu banyak pengusaha yang harus membuat bangunan khusus buat bioskop, restoran, apotik, salon, toko serba ada, toko pakaian, ruang pamer, dan sebagainya, sekarang cukup dengan menyewa ruangan di mal. Tak heran, saat suatu mal sedang dibangun, para tenant atau penyewa, sudah mem-booking terlebih dahulu.
Tapi, dalam dua tahun terakhir ini sebetulnya mal yang sedang dibangun sudah tidak begitu terlihat lagi, karena jumlah yang ada sudah sedemikian banyak. Justru pembangunan mal sudah beralih ke kawasan pinggiran seiring dibangunnya komplek perumahan atau apartemen baru. Itupun tentu mal dengan ukuran atau fasilitas yang minimalis.
Untuk mal yang biasa-biasa saja, mulai terlihat sepi, kecuali di jam makan siang atau makan malam, bila mal tersebut berdekatan dengan lokasi perkantoran. Sedangkan di hari libur, di samping untuk makan dan minum, bioskop yang ada di mal, menjadi salah satu sasaran pengunjung. Adapun lantai lain tempat aneka barang digelar, relatif jarang yang berbelanja.Â
Tapi kalau malnya sendiri yang sampai tutup dan berubah fungsi, agak jarang terdengar. Kalaupun sebuah mal beralih kepemilikannya, oleh pemilik baru tetap berfungsi sebagi mal dengan beberapa perubahan konsep yang diyakini bisa menjaring pengunjung.
Tapi dengan jumlah pengunjung yang ramai, bagaimanapun juga menerbitkan harapan bagi pengelola mal dan juga bagi para tenant. Maka bila  kita berkunjung ke mal, sudah hal biasa bila melihat ada antrian di depan beberapa photo box atau kotak yang dirancang khusus untuk tempat berfoto dengan latar belakang menarik atau dilengkapi dengan asesoris yang menawan. Â
Tunjungan Plaza (TP) di Surabaya, tercatat sebagai plaza yang paling banyak malnya, dari TP 1 sampai TP 6, tapi jembatan penghubungnya relatif biasa saja. Sedangkan di Grand Indonesia, Jakarta Pusat, ada skybridge antara West Mall dan East Mall, yang kesannya lebih mewah, namun tampilan dari luar gedung, tidak terlihat.
Di mal yang lebih baru, jembatan penghubungnya dibuat lebih keren dan terlihat dari luar mal, sehingga memancing pengunjung sengaja ingin melewati jembatan tersebut, sekalian memuaskan dahaganya untuk berfoto. Hal ini terlihat di jembatan penghubung antara Central Park dan Neo Soho di kawasan Jakarta Barat.
Ternyata di jembatan tersebut juga ada tempat bermain untuk anak-anak dan sebuah taman bunga yang menawan. Ini pun menjadi sasaran empuk untuk berselfie ria.
Mal yang berlokasi di tepi pantai seperti Bay City Mall di Pluit, Jakarta, membangun khusus koridor yang nyaman untuk berjalan kaki, sekaligus menyediakan anjungan yang indah untuk berfoto. Lagi-lagi, berfoto menjadi kata kunci, karena itulah bagian dari gaya hidup masa kini.Â
Pada hari-hari tertentu, manajemen mal mengadakan acara khusus yang membuat pengunjung membludak. Contohnya acara meet and greet dengan artis terkenal, bahkan dengan boyband atau girlband dari Korea yang tengah digandrungi remaja. Biasanya ini terkait dengan promosi dari suatu produk.
Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan, agar sebuah mal disukai pengunjung dan menjadi pelanggan setia, sediakan mushala yang luas dan nyaman, sehingga pengunjung tetap dapat menunaikan ibadahnya. Dan memang rata-rata mal kelas atas sudah menyediakannya, tidak nyempil di area parkir seperti gaya mal zaman dulu.
Tapi tetap satu hal masih menajdi pertanyaan. Seberapa besar dampak ramainya pengunjung terhadap omzet para penyewa mal yang menjual barang seperti pakaian, kosmetik, perangkat elektronik, alat rumah tangga atau keperluan sehari-hari? Atau akankah nantinya mal akan sepenuhnya menonjolkan bisnis hiburan dan makanan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H