Dahulu, tahun 1980-an, relatif tidak terlalu sulit untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Paling tidak, seperti itulah yang saya alami, dan juga beberapa saudara serta kerabat saya. Hanya saja saya sendiri memang tidak berjodoh menjadi PNS, meskipun saya pernah memperoleh Surat Keputusan (SK) pengangkatan saya sebagai staf pengajar di sebuah universitas negeri.
Waktu itu, saya tidak sabar menunggu proses diterbitkannya SK tersebut dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN). Adapun proses seleksinya sendiri relatif gampang, karena saya diminta mengajukan permohonan untuk menjadi staf pengajar oleh almamater tempat sebelumnya saya menimba ilmu.
Seleksinya lebih bersifat formalitas dan administratif, karena banyak dokumen yang harus dilengakapi. Yang jelas, saat diwawancara oleh tim penilai, penguasaan terhadap Panca Sila serta pengetahuan tentang arah pembangunan nasional waktu itu, mutlak harus dikuasai.Â
Yang agak rumit adalah mengisi banyak sekali pertanyaan tentang silsilah keluarga sebagai bagian dari screening test. Jika hanya sekadar data pribadi kedua orang tua saya serta saudara sekandung, saya hafal. Tapi kalau menyangkut tanggal lahir kakek dan nenek saya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, terpaksa saya karang-karang saja.
Kegiatan orang tua serta kakek-nenek di bidang organisasi harus pula diisi, karena tujuannya adalah utuk memastikan bahwa yang diterima menjadi PNS harus bersih diri dan bersih lingkungan, dalam arti tidak bersinggungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi lain yang dipayunginya, yang begitu Soeharto berkuasa, dinyatakan sebagai organisasi terlarang.Â
Jadi, tidak banyak tahapan tes yang mesti saya lalui. Tapi ya itu tadi, proses di BAKN yang lama, lebih dari satu tahun. Sebetulnya, sambil menunggu SK, saya diberi tugas menjadi asisten dosen, dan mendapat honor meskipun kecil. Â Tapi karena iseng-iseng saja, kehidupan saya "melenceng" dari niat semula.Â
Awalnya, ketika tidak sengaja saya membaca iklan di koran Kompas tentang lowongan kerja di sebuah perusahaan milik negara yang bergerak di bidang keuangan. Alhamdulillah, setelah beberapa kali melewati tahapan seleksi, saya berhasil diterima. Alhasil, sejak tahun 1986 saya menjadi warga Jakarta, karena ditempatkan di kantor pusat perusahaan tersebut.Â
O ya, saat itu pegawai perusahaan milik negara memang tidak termasuk PNS sebagaimana juga saat ini. Tapi tetap dianggap sebagai bagian dari Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) dengan seragam batiknya yang khas, sampai Orde Baru berakhir. Makanya, saya juga harus melewati screening test. Tapi karena saya sudah punya catatan silsilah keluarga, maka tentu lebih gampang mengisi formulirnya.
Kalau tidak salah ingat, sekitar 4 bulan setelah saya bergabung di perusahaan negara tersebut, baru SK PNS saya keluar. Apa boleh buat, saya minta maaf kepada pejabat di almamater saya, karena saya tidak jadi mengabdi di sana. Saya diminta untuk membuat surat permohonan pengunduran diri.
Lalu tentang saudara-saudara saya, beberapa jadi PNS sebagai guru. Ada yang guru SD, guru SMP, dan guru SMA. Ada pula adik bungsu saya yang menjadi PNS sebagai dokter di sebuah rumah sakit.Â
Semuanya diangkat pada periode 1970-an (kakak tertua) sampai 1990-an (adik bungsu). Alhamdulillah, menurut cerita saudara saya, seleksinya juga tidak begitu ketat, karena saat itu pemerintah memang kekurangan guru dan kekurangan dokter.
Beberapa saudara sepupu dan kerabat saya, juga di era 1980-an, bermodalkan ijazah SMA, diterima pula sebagai PNS di jajaran Departemen Penerangan (sekarang menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika). Tapi untuk yang satu ini, sedikit banyak ada kemudahan karena ada famili yang jadi pejabat di level provinsi.
Jadi, perburuan untuk menjadi PNS di era jadul, relatif lebih mudah, baik karena formasi yang tersedia cukup banyak, sementara pelamar tidak begitu membludak, ataupun karena faktor nepotisme, yang masih lazim, sepanjang semua persyaratan administratif terpenuhi. Dan jangan lupa yang terpenting, harus bersih diri dan bersih lingkungan.
Sekarang, ketika di grup media sosial banyak sekali cerita beratnya perjuangan untuk mendaftar sampai mengikuti seleksi Calon PNS (CPNS), tentu pengalaman saya di atas tidak bisa dijadikan acuan.Â
Kepada beberapa keponakan saya yang ikut seleksi CPNS, saya hanya bisa berdoa agar mereka lulus, karena saya tidak punya kiat untuk dibagikan. Metode dan materi seleksinya sudah berbeda jauh. Apalagi kalau berbicara probabilitanya, satu pelamar yang lulus, berarti menyisihkan banyak sekali pesaingnya.
Mudah-mudahan dengan metode seleksi saat ini, bisa didapatkan PNS yang berkualitas tinggi. Gaji PNS sudah relatif baik, tentu saatnya mutu pegawai yang direkrut adalah yang terbaik, sesuai kriteria yang telah ditetapkan sebagai acuan.
Untuk yang nantinya belum lulus, tidak perlu putus asa. Masih banyak lapangan kerja di sektor swasta, atau kalau berminat, kenapa tidak memulai untuk berwirausaha? Yang penting, jangan berpangku tangan menunggu datangnya keajaiban. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H