Usai sudah dua event besar olahraga berskala internasional yang diadakan di tanah air, yakni Asian Games (AG) dan Asian Para Games (APG). Dua-duanya mengharumkan nama Indonesia karena sukses dalam penyelenggaraan dan sukses pula dalam prestasi.
Sukses dalam penyelenggaraan, suatu hal yang tak terbantahkan, karena oleh media asing disebut sebagai AG dan APG terbaik sepanjang sejarah. Ini tentu membuat tugas tuan rumah berikutnya menjadi lebih berat, karena penyelenggaraan di Indonesia telah meletakkan standar baru.
Nah sekarang tentang sukses prestasi, atlet Indonesia, baik yang turun di AG maupun APG, ternyata berhasil melampaui target. Akibatnya pemerintah harus menyediakan dana yang lebih banyak dari yang telah dianggarkan sebelumnya, untuk dibagikan sebagai bonus kepada atlet dan pelatih yang meraih medali.
Sekarang coba kita lihat posisi Indonesia dalam daftar perolehan medali. Â Pada AG, Indonesia di urutan ke 4 setelah China, Jepang dan Korsel. Indonesia mendapat 31 medali emas, 24 perak dan 43 perunggu.
Posisi Indonesia jelas telah masuk jajaran papan atas Asia, dan terbaik di Asia Tenggara. Dalam hal ini, pemerintah bersama pihak lain yang terkait dengan peningkatan prestasi olahraga, telah berhasil membuat lompatan, dan memberi perhatian yang setara untuk atlet umum dan atlet berkebutuhan khusus.
Namun posisi Indonesia yang bagus di atas harus diakui terdongkrak oleh satu cabang olahraga andalan. Di AG, 14 medali emas diborong dari pencak silat, yang membuat Iran mencak-mencak karena pada daftar peringkat perolehan medali di hari-hari terakhir disalib Indonesia.
Demikian juga di APG, 11 emas datang dari catur, sehingga Indonesia menyalib Uzbekistan di hari terakhir sebelum upacara penutupan yang meriah pada malam harinya.
Namun di cabang paling bergengsi, yang disebut sebagai ibu dari semua olahraga, yakni atletik, serta juga di cabang lain yang wajib ada di setiap ajang multi event, renang, prestasi di APG lebih cemerlang, karena Indonesia  berhasil memanen medali emas di kedua cabang tersebut. Sementara di AG, Indonesia baru menyabet 2 perak dan 1 perunggu di cabang atletik serta tanpa medali sama sekali di renang.
Kalau kita melihat negara-negara lain, ternyata ada kaitan antara sukses di AG dan di APG. Artinya, negara yang sukses di AG juga sukses di APG.Â
China memang sangat dominan dalam prestasi olahraga, tidak hanya di Asia, tapi dunia. Tidak hanya atlet biasa tapi juga atlet berkebutuhan khusus. Rasanya memang sulit bagi negara lain mengambil alih posisi China.
Tapi bukannya tidak ada kritik terhadap pola pembinaan atlet di China yang konon dari kecil setiap anak sudah dideteksi  apakah berbakat di bidang olahraga atau tidak. Bila berbakat, maka digembleng secara amat ketat sehingga calon atlet tersebut kehilangan masa bermain yang nota bene adalah hak anak.
Ras kuning lainnya, Jepang dan Korsel menyusul di bawah Cina. Kemudian setelah itu Indonesia, Uzbekistan dan Iran. Tapi pada APG, meski negara yang masuk 6 besar sama dengan AG, namun urutannya berbeda. Iran lebih sukses di APG ketimbang di AG. Sebaliknya Jepang lebih sukses di AG ketimbang APG.
Pesaing Indonesia di Asia Tenggara, lebih baik penampilannya di APG, karena Thailand dan Malaysia berada di peringkat 7 dan 8. Sementara di AG kedua negara tidak masuk 10 besar.Â
Kita pantas bersyukur dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada pencapaian atlet Indonesia di kedua ajang tersebut.
Tapi PR besar telah menunggu, bagaimana caranya mempertahankan prestasi yang telah diraih ketika kita tidak lagi menjadi tuan rumah. Tentu kita tidak mau disebut sebagai jago kandang. Ujian terdekat adalah SEA Games 2019 yang akan berlangsung di Manila, Filipina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H