Berita tentang utang PSSI terhadap pelatih asal Spanyol, Luis Milla, mencuat setelah PSSI bermaksud memperpanjang kontrak, namun Milla belum menampakkan batang hidungnya di Indonesia. Ada yang menduga Milla kapok karena PSSI menunggak 3 bulan gaji.
Belakangan tersiar kabar bahwa PSSI telah menyelesaikan kewajibannya terhadap Milla, sehingga soal masih kaburnya perpanjangan kontrak, bukan lagi gara-gara utang, namun ada alasan lain menyangkut agenda Milla di Spanyol.
Konon gaji  yang dibayarkan PSSI kepada Luis Milla amat besar, sekitar Rp 2 miliar per bulan, dan merupakan pelatih termahal di antara pelatih tim nasional negara-negara Asia Tenggara.
Seberapa kuat PSSI membayar gaji pelatih sekaliber Milla? Sulit dilacak karena PSSI tidak mempublikasikan laporan keuangannya kepada publik secara periodik.
Kalaupun di media sesekali terungkap kondisi keuangan PSSI, hanya bersifat parsial, dengan mengutip apa yang disampaikan pengurus di saat tertentu, seperti dalam forum kongres.
Sebagai contoh, dari liputan6.com (13/1/2018), disebutkan bahwa sepanjang tahun 2017 PSSI surplus sebanyak Rp 3 miliar, yang dihasilkan dari pendapatan sejumlah Rp 110 miliar dan pengeluaran Rp 107 miliar. Sebagian besar pendapatan didapat dari liga, selain dari sponsor dan bantuan FIFA dan AFC.
Tidak didapat info apakah laporan keuangan tersebut telah diaudit oleh akuntan publik atau belum. Soalnya, jarang-jarang PSSI meraih surplus. Pada kepengurusan sebelumnya, contohnya saat La Nyala menjadi ketua umum dan terjadi dualisme kepengurusan yang bikin heboh, disebut-sebut justru PSSI berutang pada sang ketua umum.
Kalau sudah diaudit, maka akan dihasilkan annual report yang lebih dapat dipercaya. Laporan tersebut sebagian terdiri dari laporan keuangan yang rinci, yang  antara lain mencakup daftar aset, daftar utang, daftar penerimaan dan daftar pengeluaran.
Kondisi surplus bisa saja terjadi karena belum memasukkan biaya yang belum dibayar padahal sudah saatnya membayar, atau adanya utang yang belum tercatat. Kecukupan dan keakuratan laporan tersebut termasuk dalam ruang lingkup audit.
Sebagai non-profit organization, PSSI memang tidak terkena aturan yang mewajibkan memasang laporan keuangannya yang telah diaudit di media cetak secara periodik.Â
Sejauh ini, baru perusahaan yang sudah go public dan perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, seperti bank dan asuransi, yang mengumumkan laporan keuangannya di media cetak.
Jadi, kalaupun PSSI belum begitu transparan dalam mengungkapkan laporan keuangan, LIB seharusnya selangkah di depan dengan mengadopsi praktik good corporate governance, yang antara lain mencakup transparansi laporan keuangan.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang digelar oleh LIB bersama klub-klub anggota dan PSSI tanggal 8 Maret 2018 telah disampaikan laporan keuangan tahun 2017 yang menghasilkan keuntungan lebih kurang Rp 6 miliar (detik.com 8/3/2018).
Asumsinya, seperti lazimnya sebuah RUPS kepada peserta rapat telah dibagikan annual report yang di dalamnya terdapat rincian laporan keuangan. Dari aspek ini, bisa dianggap pertanggungjawaban manajemen LIB telah diterima pemegang saham yang merupakan perwakilan dari klub-klub anggota Liga.
Namun akan lebih baik bila LIB juga mengumumkan laporan keuangannya kepada publik, karena pada hakikatnya, masyarakat, khususnya pencinta sepak bola, dapat disebut sebagai konsumen. Kepuasan konsumen akan berpengaruh pada bisnis LIB.
Selanjutnya, klub yang ada di negara kita, paling tidak dimulai oleh klub-klub yang berlaga di Liga 1, yang sesuai aturan, semuanya harus dikelola oleh perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), harus transparan pula kepada publik.Â
Dengan demikian, para pendukung masing-masing klub yang setia menonton setiap klubnya bertanding, punya pemahaman tentang kondisi keuangan klub. Tentu tidak logis misalnya ada supporter yang minta mendatangkan pelatih atau pemain yang berharga mahal, padahal untuk membayar gaji pemain yang biasa-biasanya, sudah ngos-ngosan.
Di samping itu, klub yang lebih transparan dalam laporan keuangan, juga berpotensi menarik perhatian lebih banyak sponsor yang bisa menjadi sumber pendapatan bagi klub.
Saatnya sepak bola dikelola secara profesional dengan lebih transparan dalam laporan keuangan. Bila antara pengurus, pemain, pelatih, Â fans club, dan sponsor, saling mempercayai, pada giliranya diharapkan bisa meningkatkan prestasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H