Beberapa hari ini ramai diberitakan tentang tertangkapnya Dede Richo Ramalinggam, yang dulu dikenal sebagai Dede Idol, karena di tahun 2008 menjadi finalis ajang pencarian bakat Indonesian Idol.
Pria asal Medan berusia 29 tahun itu diringkus polisi di Tangerang Selatan karena keterlibatannya dalam aksi kejahatan, dengan modus memecahkan kaca mobil sasarannya yang lagi parkir.
Ada beberapa ajang pencarian bakat, khususnya bagi yang ingin jadi penyanyi, yang digelar oleh beberapa stasiun televisi nasional. Acara ini rating-nya cukup tinggi, sehingga selalu berhasil menjaring banyak sponsor.Â
Bahkan salah satu stasiun televisi, yang khusus membuat acara ajang pencarian bakat penyanyi dangdut, bisa menyiarkan secara langsung dengan durasi sekitar lima jam setiap malam, berturut-turut selama sekitar dua bulan, karena dari tahap penyisihan sampai grand final, memang butuh waktu lama.Â
Ajang tersebut rata-rata diminati oleh banyak sekali remaja dari seluruh pelosok tanah air, karena tim kreatif dari masing-masing televisi terjun langsung mengadakan audisi di beberapa kota yang tersebar.
Latar belakang peserta yang beraneka ragam turut menyemarakkan acara ini. Bagi yang berasal dari kalangan ekonomi bawah seperti yang orangtuanya seorang penarik becak, pemulung, atau malah si pesertanya sendiri yang menjadi pengamen jalanan (seperti Dede Richo), maka kisah seperti ini diekspos saat penayangan untuk menarik simpati pemirsa. Makanya acara ini tergolong reality show.
Ajang pencarian bakat boleh disebut sebagai jalan pintas untuk menjadi artis. Soalnya, di negara kita ini, di setiap kota, termasuk kota kecil, gampang sekali menemukan bakat terpendam, namun mereka tidak punya kesempatan untuk tampil di panggung lebih besar.
Ambil contoh kota Bandung dan kota-kota kecil sekitarnya, ini betul-betul gudangnya para artis atau calon artis. Namun saking ketatnya persaingan, banyak yang sampai tua merasa sudah beruntung menjadi penyanyi kafe atau hotel yang dikontrak bulanan dan berkelana dari satu kota ke kota lain. Tak heran di banyak hotel di tanah air dan juga sampai ke negara jiran, pemusik dan penyanyi asal Bandung bermain di sana.
Toh cara begitu lebih baik, dalam arti lebih konsisten, ketimbang artis instan yang sempat tampil di televisi nasional, setelah itu dilupakan publik. Ajang pencarian bakat tidak bisa dikatakan sebagai seratus persen instan, karena ada unsur perjuangan dalam menyisihkan ribuan peserta, serta ada pelatihan dari penyanyi profesional.
Tapi kalau disebut sebagai ada sebagian unsur yang bersifat instan, tidak salah juga, karena dari penyanyi antar kampung lalu disorot kamera televisi nasional, bisa jadi menimbulkan geger budaya bagi sang penyanyi.Â
Padahal setelah ajang itu berakhir, bila si penyanyi tidak kreatif dan kurang bergaul dalam jaringan para penyanyi serta pelaku usaha di bidang itu, namanya cepat tenggelam. Apalagi ketika ajang serupa memasuki periode baru, orang-orang sudah lupa siapa idol periode sebelumnya.
Namun bila proses ngetop itu dilakukan setahap demi setahap, agaknya lebih langgeng. Itulah yang terjadi pada Inul Daratista atau Soimah, sekadar menyebut dua contoh. Tanpa ikut ajang pencarian bakat, tapi konsisten bergoyang dari satu kampung ke kampung lain, lama-lama karena pada dasarnya memang punya kemampuan tinggi, masuk radar artis nasional.
Inul dan Soimah sudah kenyang pengalaman sehingga relatif tidak terkena geger budaya karena kenaikan statusnya berlangsung setahap demi setahap.Â
Bukannya dari ajang pencarian bakat tidak ada melahirkan penyanyi profesional yang berhasil. Tapi, mohon maaf, tanpa bermaksud diskriminatif, biasanya yang berhasil ini bukan datang dari kalangan bawah yang terkena geger budaya di bawah gemerlapnya sorot kamera.
Yang berhasil ini biasanya amat sadar bahwa sekadar gelar dari ajang pencarian bakat belumlah cukup, sehingga ia tidak berpuas diri, namun terus mengasah kemampuan, memupuk kreativitas, dan aktif bekerja sama dengan berbagai pihak yang bisa mempromosikannya. Kunto Aji dan Fatin Shidqia Lubis, adalah dua contoh lulusan ajang pencarian bakat yang makin berkibar saat ini.
Tentu berbeda dengan Upiak Isil, penyanyi asal Padang yang tiba-tiba lagunya "Tak Tuntuang" disukai banyak orang yang melihat melalui kanal YouTube. Upiak pun sempat menghias layar kaca selama satu sampai dua bulan. Namun karena hanya satu lagu itu saja yang diulang-ulang, pastilah orang cepat bosan. Sekarang Upiak sudah tidak terdengar lagi beritanya.
Dulu, seorang polisi di Gorontalo berpangkat Briptu, namanya Norman Kamaru, mendadak terkenal karena bergoyang ala India mengikuti lagu "chaiya....chaiya" saat sedang piket. Goyangannya yang iseng-iseng direkam, beredar di dunia maya dan namanya pun seketika meroket.
Setelah itu terpikat dengan iming-iming menjadi artis, Norman meninggalkan dinasnya di kepolisian, dan hijrah ke Jakarta. Meskipun ia sempat tampil beberapa kali di layar kaca, nama Norman cepat tenggelam.
Berita terakhir, Norman berjualan bubur di Kalibata City, Jakarta (tribunnews.com 17/8/2016). Banyak pihak yang menyayangkan, seandainya Norman tetap berdinas di kepolisian, karirnya bisa cepat naik, karena ia sudah dikenal tidak saja oleh Kapolres setempat, tapi sampai Kapolda dan Kapolri.
Bahkan, Norman diikutkan dalam berbagai acara sosialisasi program kepolisian yang perlu diketahui masyarakat luas. Artinya, Polri juga mengakui bahwa potensi Norman yang "ngartis" itu bisa membantu kelancaran di bidang kehumasan.
Tapi, ya sudahlah, nasi sudah jadi bubur, dan faktanya Norman jadi penjual bubur. It's okey. Toh, yang penting halal. Namun kalau melenceng jadi pelaku kriminal, ini namanya sudah kelewat batas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H